*dd nana veno

“Terberai di kota-kota yang hilang
dan yang tumbuh
bak helaian rambut di kepala bocah
seumur jagung.
Aku menetap dan menatap
Pagi, maut, dan percintaan di bawah bulan yang kesepian,”

1. Menara Babel
tuhan ingin beristirahat. Setelah ia kirimkan air bah ter-bah.
Yang melumat dataran dan pegunungan
yang mengunggulkan diri paling tinggi.

Saat air turun dan menggulung gunung, aku berada di sisi paling pojok sebuah perahu manusia suci.
Perahu yang bergurat-gurat di lapisan paling bawahnya
dengan para kisah manusia.
Yang lampau dan yang akan datang.

Yang lampau, kau sudah faham.
Walau selalu membuatmu abai.
Saat maut datang, dan akulah makhluk terkutuk
penyaksi yang kantuk
menatap maut menuliskan kisah yang sama.

Kau, yang hanya membaca, percayalah,
tak akan mampu menuliskan
betapa derita para pemilik mata malam.
yang merekam segala petaka paling jahanam.
“aku ingin tidur, tuan,”.

Baca Juga  Puisi: Aduh di Tubuh, Nikmat yang Rapuh

Mata yang merekam jemari maut
menuliskan abjad-abjad yang membuat kebingungan ribuan pekerja.

Ah, aku ingat Shinar, Nuh, air bah yang menyusut.
Dan Menara yang ujungnya (hampir) menusuk surga.
Merobek lantai perahu Nuh kembali.

Peristiwa berulang sama dengan kisah yang sedikit berbelok.

Gerbang Tuhan, milik sang Maha Pencemburu, tuan.

Ingatan yang kekal milik para nabi atau mereka yang dikutuk.
Seperti aku.
Yang mati tak terbilang dan hidup kembali.
Di kota-kota yang sekarang hilang.
Di kota-kota yang tumbuh serupa helaian rambut di kepala bocah seumur jagung.

Merekam dalam kantuk paling pedih.
“Aku ingin tidur saja, tuan,”.]

2. Percayalah Pada Perempuan
Ini sabdaku
Sebelum pagi direbut terik berisik dunia
Sebelum maut mengajakku ke kota lain
yang serupa di mata kantuk-ku.

Baca Juga  PUISI: Memoria: Nyalak Menyalak

“Percayalah pada perempuan. Percayalah pada rasa takutnya. Percayakan saja hidupmu dalam benang yang diikatkan ke tubuh lelakimu,”.

Bahkan, tuan dan puan, seorang pahlawan berdarah dewa sekalipun, tunduk pada sabda ini.
Dan selamatlah jiwanya, setelah tubuh lelakinya masuk dalam labirin tak berpintu.
Setelah duel seru dimenangkannya.
Manusia berkepala banteng, mati di tangannya.
Keperkasaannya yang membuatnya dicatat hingga kini,
berkat benang yang terikat di tubuhnya.

Benang milik seorang perempuan yang mencinta.

3. Jangan Percaya !
: Aku telah mengenal sesuatu yang tak dipahami manusia: ketidakpastian dan rasa kantuk yang tak menghasilkan dengkur.
: kau, mencari apa ?
Aku mencari tuhan.
tuhan-mu ada di suatu huruf pada salah satu halaman buku.
Carilah

dan, mataku buta sejak saat itu.
:Cinta akan menjemputmu.
Dari ruang sunyi ke sunyi yang lain.

*penyuka kopi pait dan tukang wingko