Beranda

Raja Delapan Hari: Kisah Terlupakan Pangeran Singasari

Raja Delapan Hari: Kisah Terlupakan Pangeran Singasari
Sketsa Kerajaan Mataram (Ist)

INDONESIAONLINE – Di balik kemegahan nama besar penguasa Mataram Islam seperti Panembahan Senapati dan Sultan Agung, tersimpan kisah Pangeran Singasari, sosok pangeran alim yang nyaris lenyap dari catatan utama sejarah.

Putra ketiga Amangkurat I ini bukan hanya pernah menduduki takhta selama delapan hari yang penuh teka-teki, tetapi juga menjadi pusat tragedi istana yang melibatkan cinta segitiga, pembunuhan, dan intrik kekuasaan brutal di penghujung abad ke-17.

Lahir sebagai Raden Mas Pandonga dari seorang perempuan rakyat biasa asal Pasuruan yang ditawan, Pangeran Singasari tumbuh menjadi pribadi yang dikenal saleh dan pendiam. Nama “Pandonga” yang berarti doa, mencerminkan jalan hidupnya yang banyak dihabiskan di padepokan Jenar untuk bertafakur dan beribadah. Kesalehannya bahkan diakui oleh kakaknya sendiri, Putra Mahkota Raden Mas Rahmat.

Namun, ketenangan hidupnya terusik pada 23 Juli 1670. Dalam peristiwa mengejutkan yang tercatat dalam laporan Belanda (Daghregister), Raja Amangkurat I tiba-tiba menyerahkan takhta Mataram kepada Pangeran Singasari (yang juga dikenal sebagai Raden Aria Tiron). Penyerahan kekuasaan ini diduga bersifat simbolis, kemungkinan sebagai upaya Raja menolak pertanda buruk atau malapetaka.

Kekuasaan sang pangeran spiritualis ini ternyata hanya seumur jagung. Tepat delapan hari kemudian, pada 8 Agustus 1670, Amangkurat I mencabut kembali titahnya dan mengambil alih pemerintahan. Langkah ini diikuti dengan penguatan posisi Putra Mahkota sebagai penguasa wilayah strategis, mengirim sinyal jelas mengenai siapa pewaris takhta sesungguhnya.

Drama hidup Pangeran Singasari tidak berakhir di situ. Puncak tragedi terjadi ketika istrinya, Ratu Blitar, dilaporkan terlibat skandal perselingkuhan dengan Putra Mahkota (kelak Amangkurat II) dan seorang bangsawan muda, Raden Dobras. Menurut versi Babad Tanah Jawi dan catatan Valentijn, Pangeran Singasari memergoki mereka sepulang dari salat malam. Dalam amarah, ia mengejar dan membunuh Raden Dobras, lalu menguburkannya diam-diam.

Ironisnya, dalam pengadilan internal keraton, Putra Mahkota berhasil lolos dari tuduhan. Justru para abdi setia Pangeran Singasari yang menjadi tumbal; sekitar 33-34 orang dihukum mati di alun-alun atas perintah Raja. Peristiwa berdarah ini menciptakan luka dan ketegangan mendalam antara Pangeran Singasari dan kakaknya.

Meskipun Raja Amangkurat I memberikan pengampunan formal kepada Putra Mahkota tiga tahun kemudian, atmosfer ketakutan dan kecurigaan terus menyelimuti istana. Laporan Belanda dari Jepara pada 1672 menyebutkan bagaimana seluruh Jawa gentar terhadap Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota).

Situasi genting ini bahkan seolah ditandai oleh letusan dahsyat Gunung Merapi pada Agustus 1672, yang dalam kosmologi Jawa sering dikaitkan dengan kekacauan di pusat kekuasaan.

Kisah Pangeran Singasari, yang terungkap dari perpaduan sumber lokal seperti Babad dan catatan kolonial Belanda, memberikan gambaran kompleks mengenai dinamika internal Mataram. Ia mungkin hanya “raja sepekan”, namun riwayat hidupnya yang penuh spiritualitas, kekuasaan singkat, pengkhianatan, dan kekerasan menjadi cermin sisi kelam sejarah Mataram yang tak hanya diisi oleh perang dan diplomasi, tetapi juga oleh drama keluarga yang brutal dan luka yang tak tersembuhkan.

Namanya adalah pengingat bahwa di balik narasi besar para pemenang, selalu ada kisah-kisah tragis yang terpinggirkan namun penting untuk dipahami (ar/dnv).

Exit mobile version