Konflik perbatasan Thailand-Kamboja kembali memanas di 2025. Analisis sengketa kuil Preah Vihear, Ta Moan, dan Ta Khwai yang dipicu peta kolonial dan sentimen nasionalisme.
INDONESIAONLINE – Di puncak Pegunungan Dangrek yang curam, kabut tebal sering kali menyelimuti bebatuan andesit kuno yang telah berdiri lebih dari sembilan abad. Namun, pada musim panas dan akhir tahun 2025 ini, bukan hanya kabut alam yang menutupi pemandangan, melainkan asap mesiu dan ketegangan diplomatik yang pekat.
Kompleks kuil Preah Vihear, sebuah mahakarya arsitektur Khmer abad ke-11, kembali menjadi saksi bisu pertikaian dua tetangga yang memiliki akar budaya serupa namun terjebak dalam “persaingan saudara” yang mematikan.
Laporan terbaru dari media internasional dan pemantauan di perbatasan menunjukkan bahwa bentrokan yang bermula pada pertengahan tahun ini belum sepenuhnya mereda hingga Desember 2025. Penutupan pos perbatasan dan baku tembak sporadis telah memaksa ribuan warga sipil di provinsi Si Sa Ket (Thailand) dan Preah Vihear (Kamboja) meninggalkan rumah mereka.
Konflik ini lebih dari sekadar perebutan lahan sempit seluas 4,6 kilometer persegi. Ini adalah pertarungan tentang harga diri bangsa, luka sejarah kolonial yang belum kering, dan manuver politik domestik yang memanfaatkan sentimen nasionalisme.
Trinitas Kuil di Garis Api: Preah Vihear, Ta Moan, dan Ta Khwai
Publik dunia mungkin lebih mengenal Preah Vihear (atau Khao Phra Viharn dalam bahasa Thailand) sebagai pusat sengketa. Terletak di tepi tebing setinggi 525 meter, kuil ini didedikasikan untuk Dewa Siwa dan dibangun 100 tahun sebelum Angkor Wat.
Posisinya yang strategis secara militer—memberikan pandangan luas ke dataran Kamboja—menjadikannya benteng alami yang diperebutkan. Namun, eskalasi tahun 2025 membuka kembali luka lama pada dua situs lain yang sering terlupakan: Prasat Ta Moan Thom dan Prasat Ta Khwai (Ta Krabey).
Seperti diketahui Prasat Ta Moan Thom merupakan kompleks unik karena letaknya yang benar-benar membelah garis batas. Secara geografis, ia berada di celah pegunungan yang secara historis menjadi jalur perlintasan antara dataran tinggi Khorat (Thailand) dan dataran rendah Kamboja.
Sengketa di sini sangat rumit karena melibatkan akses fisik yang dikuasai Thailand namun struktur bangunan yang diklaim Kamboja.
Kemudian Prasat Ta Khwai yang terletak lebih ke barat. Kuil ini menjadi titik panas baru karena pos militer kedua negara berdiri sangat berdekatan, hanya terpisah jarak lemparan batu. Ketegangan sekecil apa pun di sini bisa memicu baku tembak artileri seperti yang pernah terjadi pada tahun 2011.
Akar Masalah: “Bom Waktu” Peta Perancis 1907
Untuk memahami mengapa dua negara Buddhis ini saling angkat senjata, kita harus memutar waktu ke era kolonialisme Perancis di Indochina. Konflik ini berakar pada ketidaksesuaian antara kondisi geografis alami dengan garis tinta di atas kertas peta kolonial.
Pada tahun 1904 dan 1907, Kerajaan Siam (sekarang Thailand) dan Perancis (yang menjajah Kamboja) menandatangani perjanjian perbatasan. Prinsip utamanya adalah batas negara mengikuti garis batas air (watershed line) di Pegunungan Dangrek.
Jika mengikuti prinsip ini secara ketat, kuil Preah Vihear yang berada di bibir tebing yang miring ke arah Thailand seharusnya menjadi milik Thailand.
Namun, “bom waktu” itu bernama Peta Lampiran I. Peta yang dibuat oleh petugas kartografi Perancis pada tahun 1907 ini menyimpang dari prinsip watershed. Garis batas digambar melengkung sedemikian rupa sehingga memasukkan Preah Vihear ke dalam wilayah Kamboja.
Shane Strate, dosen sejarah Asia Tenggara dari Kent State University, menyoroti anomali ini. “Peta Lampiran I menyimpang dari garis aliran sungai justru saat memasuki wilayah Preah Vihear, sebelum kembali ke garis aslinya,” ujarnya.
Masalahnya, saat peta itu diserahkan, pemerintah Siam tidak mengajukan keberatan resmi. Dalam hukum internasional, diamnya Siam ini diartikan sebagai acquiescence atau persetujuan diam-diam. Kelalaian diplomatik satu abad lalu inilah yang menjadi senjata hukum terkuat Kamboja hingga hari ini.
Pertarungan Hukum: 1962 hingga Bayang-Bayang 2011
Sengketa ini pernah dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag. Pada 15 Juni 1962, ICJ memutuskan bahwa kuil Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kamboja. Keputusan ini didasarkan pada peta Perancis 1907, bukan pada topografi watershed.
Thailand mematuhi keputusan itu dengan berat hati, menarik pasukannya, namun mendirikan pagar kawat berduri tepat di sekeliling bangunan kuil, menyisakan akses yang sangat terbatas.
Masalah kembali meledak ketika Kamboja berhasil mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada Juli 2008. Thailand memprotes keras karena area penyangga (buffer zone) seluas 4,6 km persegi di sekitar kuil belum disepakati kepemilikannya. Hal ini memicu bentrokan berdarah pada 2008-2011 yang menewaskan puluhan tentara dan warga sipil dari kedua belah pihak.
Meski ICJ mengeluarkan tafsir baru pada 2013 yang mengonfirmasi kedaulatan Kamboja atas tanjung tempat kuil berdiri, implementasi di lapangan tidak pernah benar-benar tuntas. Ketidakjelasan demarkasi di wilayah sekitar kuil (termasuk Ta Moan dan Ta Khwai) membuat konflik 2025 ini seolah menjadi “jilid lanjutan” yang tak terelakkan.
Nasionalisme sebagai Komoditas Politik
Chris Baker, sejarawan terkemuka berbasis di Thailand, memberikan analisis tajam mengenai dinamika sosial-politik di balik sengketa ini. Menurutnya, isu Preah Vihear sering kali “digoreng” oleh elit politik di Bangkok maupun Phnom Penh untuk mengalihkan isu domestik atau mendulang suara.
“Menurut saya, ini bukan hanya soal peta atau perbatasan. Ada persaingan kakak-adik yang sudah lama antara dua negara ini, dan justru karena mereka begitu mirip, persaingan itu terasa sengit,” ujar Baker, dikutip dari The Guardian, Rabu (17/12/2025).
Di Thailand, kelompok nasionalis sering menggunakan isu “hilangnya wilayah” sebagai alat untuk menyerang pemerintah yang dianggap lemah. Sementara di Kamboja, narasi “mempertahankan tanah leluhur dari invasi” menjadi alat legitimasi yang kuat bagi partai penguasa untuk membakar semangat patriotisme rakyat, terutama generasi muda yang tidak mengalami masa kejayaan Kekaisaran Khmer.
Dampak Ekonomi dan Stabilitas ASEAN
Data ekonomi menunjukkan bahwa konflik berkepanjangan ini merugikan kedua belah pihak. Volume perdagangan bilateral Thailand-Kamboja yang pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai lebih dari USD 9 Miliar (sekitar Rp140 triliun), terancam terganggu. Jalur perdagangan lintas batas di titik-titik konflik seperti Chong Sa Ngam dan O Smach sering kali ditutup saat ketegangan meningkat, mematikan ekonomi warga lokal yang bergantung pada perdagangan harian.
Sektor pariwisata juga terpukul hebat. Preah Vihear, yang seharusnya menjadi magnet devisa, justru menjadi zona militer terlarang (no-go zone). Ribuan wisatawan membatalkan perjalanan, dan hotel-hotel di provinsi perbatasan melaporkan tingkat okupansi yang anjlok drastis.
Bagi ASEAN, konflik 2025 ini menjadi ujian berat bagi prinsip non-intervensi dan konsensus. Sebagai organisasi regional, ASEAN sering kali kesulitan menengahi sengketa bilateral anggotanya secara efektif tanpa terlihat memihak.
Hingga pertengahan Desember 2025, belum ada tanda-tanda de-eskalasi permanen. Kedua negara masih bersikukuh pada interpretasi masing-masing: Kamboja dengan Peta 1907 dan putusan ICJ, Thailand dengan prinsip watershed dan kedaulatan atas wilayah sekitar kuil.
Solusi militer terbukti tidak efektif dan hanya menambah jumlah korban jiwa serta penderitaan pengungsi. Solusi diplomatik melalui Joint Boundary Commission (JBC) berjalan lambat karena terganjal ratifikasi parlemen dan tekanan publik di masing-masing negara.
Kuil-kuil di Pegunungan Dangrek seharusnya menjadi jembatan budaya yang menghubungkan dua bangsa dengan warisan sejarah yang sama. Namun, selama peta kolonial masih dijadikan “kitab suci” yang kaku tanpa disertai kompromi pengelolaan bersama (joint management), Preah Vihear, Ta Moan, dan Ta Khwai akan tetap menjadi monumen sengketa.
Bebatuan kuno itu tidak hanya menyimpan relief dewa-dewa Hindu, tetapi juga menyimpan potensi ledakan konflik yang sewaktu-waktu bisa kembali membakar Asia Tenggara.
