Integrasi ekonomi haji dan filantropi dibahas UIN Maliki Malang & Kemenag. Potensi dana Rp160T disiapkan untuk pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan.
INDONESIAONLINE – Di balik antrean panjang lebih dari lima juta jemaah haji Indonesia yang mengular hingga puluhan tahun, tersimpan sebuah “raksasa tidur” ekonomi. Ratusan triliun rupiah dana umat mengendap, menunggu giliran untuk tidak hanya sekadar memberangkatkan jemaah ke Tanah Suci, tetapi juga menjadi dinamo penggerak kesejahteraan bangsa.
Isu krusial inilah yang menjadi jantung pembahasan dalam pertemuan strategis di Aula Rektorat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, baru-baru ini. Kolaborasi antara UIN Maliki Malang dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI ini bukan sekadar seremoni akademik, melainkan sebuah upaya serius membedah ulang tata kelola dana umat melalui Seminar Nasional bertajuk Integrasi Filantropi dan Ekonomi Haji: Kontribusi untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Raksasa Ekonomi di Persimpangan Jalan
Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki ekosistem ekonomi syariah yang unik. Berdasarkan data Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) per Desember 2023, dana kelolaan haji telah menembus angka lebih dari Rp166 triliun dan diproyeksikan terus meningkat. Dalam forum di UIN Maliki Malang, angka ini bahkan disebut mendekati estimasi Rp180 triliun seiring dengan akumulasi nilai manfaat.
Namun, besarnya angka tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah dana sebesar ini hanya akan menjadi angka di neraca keuangan yang menunggu dicairkan, atau bisa menjadi instrumen filantropi produktif?
Sekretaris Ditjen PHU Kemenag RI, Dr. HM Arif Hatim, M.Ag., dalam seminar tersebut menyoroti dimensi sosial-ekonomi yang sering terlupakan dari ibadah haji. Dengan kuota tahunan rata-rata 221.000 jemaah (sebelum penambahan kuota 2024), perputaran uang yang terjadi sangat masif.
“Jika dikelola secara profesional, produktif, dan akuntabel, dana haji tidak hanya aman, tetapi juga bisa memberi kontribusi nyata bagi pembangunan nasional dan penguatan kesejahteraan umat,” tegas Arif Hatim.
Pernyataan ini sejalan dengan prinsip Maqashid Syariah, di mana menjaga harta (hifdzul maal) harus diiringi dengan kemaslahatan umat. Selama ini, filantropi Islam seperti Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) berjalan di satu rel, sementara pengelolaan dana haji berjalan di rel lain yang lebih kaku karena regulasi investasi.
Tantangan Regulasi dan Integrasi
Menggabungkan konsep filantropi yang cair dengan ekonomi haji yang prudent (penuh kehati-hatian) bukanlah perkara mudah. Rektor UIN Maliki Malang, Prof. Dr. Hj. Ilfi Nur Diana, M.Si., secara tajam menyoroti adanya sekat-sekat pemikiran yang selama ini memisahkan kedua entitas tersebut.
“Selama ini filantropi dibahas sendiri, ekonomi haji dibahas sendiri. Padahal irisan keduanya sangat kuat dan potensial jika dikelola bersama,” ujar Prof Ilfi.
Tantangan terbesar, menurut Guru Besar bidang Ekonomi Islam ini, terletak pada harmonisasi regulasi. Dana haji memiliki batasan ketat dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, di mana investasi harus aman dan memberikan nilai manfaat. Sementara itu, instrumen filantropi seringkali menyasar sektor sosial yang berisiko tinggi secara finansial namun berdampak besar secara sosial (social return).
Prof Ilfi menekankan bahwa kendala teknis sering muncul saat bersinggungan dengan regulasi Kementerian Keuangan. Di sinilah peran perguruan tinggi menjadi vital. Kampus tidak hanya berfungsi sebagai menara gading, tetapi sebagai laboratorium kebijakan (policy lab) untuk merumuskan skema yang aman secara regulasi namun progresif secara dampak.
“Ruang dialog seperti ini menjadi sangat penting agar potensi besar tersebut tidak berhenti di atas kertas,” tambahnya.
Dari Konsumtif Menuju Produktif
Selama bertahun-tahun, sebagian besar nilai manfaat dana haji digunakan untuk mensubsidi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Data menunjukkan bahwa porsi subsidi nilai manfaat seringkali lebih besar daripada biaya yang dibayarkan jemaah (Bipih). Namun, paradigma ini mulai bergeser menuju keberlanjutan (sustainability).
Integrasi dengan filantropi menawarkan jalan keluar yang menarik. Konsep wakaf uang, misalnya, dapat disinergikan dengan investasi dana haji untuk membangun infrastruktur layanan jemaah, seperti rumah sakit haji atau penginapan di Arab Saudi, yang kepemilikannya kembali kepada umat.
Dalam seminar tersebut, para pakar sepakat bahwa dana Rp180 triliun tersebut memiliki daya ungkit (leverage) yang luar biasa jika diarahkan pada sektor riil yang berkelanjutan. Bayangkan jika sebagian dana tersebut, melalui skema Sukuk atau investasi langsung yang aman, digunakan untuk membiayai fasilitas pendidikan dan kesehatan di dalam negeri. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh jemaah yang berangkat, tetapi juga oleh masyarakat luas yang masih menunggu antrean.
Membangun Ekosistem Kolaboratif
Seminar nasional ini menjadi titik temu bagi tiga pilar utama: regulator (Kemenag & BPKH), akademisi (UIN Maliki), dan praktisi filantropi (BAZNAS). Kehadiran Ketua BAZNAS Provinsi Jawa Timur dan perwakilan BPKH menegaskan bahwa integrasi ini memerlukan eksekusi lintas sektoral.
Arif Hatim menyebutkan bahwa kemiskinan masih menjadi musuh bersama. Filantropi keagamaan telah terbukti efektif sebagai bantalan sosial. Jika disuntikkan dengan kekuatan modal dari ekonomi haji—tentu dengan mitigasi risiko yang ketat—akselerasi pengentasan kemiskinan bisa berjalan lebih cepat.
UIN Maliki Malang, sebagai institusi pendidikan, mengambil peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang paham akan kompleksitas ini. Pengelolaan dana ratusan triliun membutuhkan profesional yang tidak hanya mengerti hukum syariah, tetapi juga piawai dalam analisis investasi global dan manajemen risiko.
Diskusi yang berlangsung di Malang ini mengirimkan sinyal kuat kepada publik: era pengelolaan dana haji yang pasif harus segera berakhir. Integrasi filantropi dan ekonomi haji adalah sebuah keniscayaan untuk mencapai Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Potensi dana haji tidak boleh lagi dilihat sekadar angka tabungan. Ia adalah mesin penggerak ekonomi syariah nasional. Jika kolaborasi antara kampus, pemerintah, dan lembaga pengelola dana ini berhasil memecahkan kebuntuan regulasi dan menciptakan model bisnis sosial yang baru, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi pengirim jemaah haji terbesar, tetapi juga menjadi model dunia dalam pengelolaan dana sosial keagamaan yang modern dan berdampak.
Kesimpulan dari pertemuan ini jelas: dana haji harus bertransformasi dari sekadar “aman” menjadi “berdaya”. Dan itu hanya bisa terjadi jika tembok pemisah antara ekonomi haji dan semangat filantropi diruntuhkan melalui dialog, riset, dan kebijakan yang berani.













