Beranda
Wisata  

Wisata Kuburan Londo Mati Suri: Jejak Freemason yang Terlupakan

Wisata Kuburan Londo Mati Suri: Jejak Freemason yang Terlupakan
Kuburan Londo di Sukun Kota Malang. Sempat jadi lokasi wisata sejarah dengan konsep Dark Tourism, kini nasibnya mati suri (Ist)

Wisata sejarah Kuburan Londo Malang kini mati suri. Potensi dark tourism dan jejak Freemason menanti kolaborasi untuk bangkit kembali.

INDONESIAONLINE – Di balik rimbunnya pohon-pohon trembesi tua yang memayungi kawasan Sukun, Kota Malang, tersimpan ribuan nisan bisu yang menyimpan narasi panjang sejarah kolonialisme di Jawa Timur. Kompleks pemakaman yang dikenal warga lokal sebagai “Kuburan Londo” atau secara administratif disebut Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sukun ini, sejatinya adalah museum terbuka.

Arsitektur nisan bergaya Art Deco hingga Gothic, serta simbol-simbol misterius yang terpahat di batu marmer, adalah saksi bisu kejayaan dan kematian kaum elit Eropa di masa Hindia Belanda.

Namun, sayang seribu sayang, “museum” ini kini seolah terkunci rapat dari keriuhan apresiasi. Potensi wisata sejarah yang sempat menggeliat sebelum pandemi kini terlelap dalam tidur panjang alias mati suri. Keheningan di Makam Sukun hari ini bukan hanya karena sifatnya sebagai tempat peristirahatan terakhir, melainkan juga cerminan dari mandeknya pengelolaan wisata berbasis heritage di lokasi tersebut.

Jelajah kubur di Kuburan Londo Sukun Kota Malang (Ist)

Runtuhnya Kejayaan “Dark Tourism” Kota Malang

Sabtu (27/12/2025), suasana di Makam Sukun tampak lengang. Tidak ada lagi kelompok-kelompok wisatawan yang membawa senter dan kamera, yang dulu kerap memadati area ini untuk mengikuti tur malam hari. Hariani, seorang aktivis Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kuburan Londo yang tersisa, menatap nanar ke arah gerbang makam yang megah.

“Memang masih mati suri. Kegiatan seperti dark tourism sudah tidak berjalan lagi. Dulu wisatawan bisa menjelajah makam di malam hari sambil mendengarkan kisah sejarah,” ujar Hariani dengan nada getir.

Istilah Dark Tourism atau wisata kelam yang dimaksud Hariani bukanlah wisata mistis murahan yang mencari penampakan hantu. Konsep ini sejatinya mengacu pada pariwisata yang melibatkan perjalanan ke tempat-tempat yang secara historis berhubungan dengan kematian dan tragedi, namun dikemas dalam edukasi sejarah yang mendalam (necrotourism). Sebelum pandemi Covid-19 menghantam pada 2020, Makam Sukun adalah primadona untuk konsep ini di Malang.

Data kunjungan internal Pokdarwis mencatat, pada masa puncaknya (2018-2019), antusiasme publik begitu tinggi hingga pengelola harus membuka tiga sesi tur dalam satu malam. Pesertanya beragam, mulai dari mahasiswa sejarah, fotografer, hingga wisatawan mancanegara yang ingin menelusuri jejak leluhur mereka. Namun kini, aktivitas itu nihil. Pandemi menjadi pukulan knockout yang mematikan denyut nadi organisasi pengelolanya.

“Cukup disayangkan. Padahal potensi wisatanya besar, ceritanya banyak, tapi akhirnya stagnan,” tambah Hariani.

Yang lebih memprihatinkan, struktur organisasi Pokdarwis Kuburan Londo kini nyaris lumpuh total. Dari sekian banyak anggota yang dulu aktif menjadi pemandu dan pengelola, kini hanya Hariani seorang yang masih bertahan menjaga “nyala api” kepedulian tersebut.

Menyingkap Tabir Freemason dan Simbolisme Eropa

Mengapa Makam Sukun begitu penting? Secara historis, keberadaan makam ini tidak lepas dari rencana perluasan wilayah Kota Malang (Bouwplan) yang dirancang oleh arsitek Belanda, Thomas Karsten, pada awal abad ke-20. Ketika pemakaman Eropa lama di kawasan Klojen (kini menjadi gedung perkantoran dan sekolah) sudah penuh, pemerintah kolonial membuka Makam Sukun sekitar tahun 1920-an.

Daya tarik utama makam ini bukan hanya pada usianya, melainkan pada siapa yang dikuburkan di sana. Hariani menyebutkan adanya makam-makam dengan simbol spesifik yang jarang ditemui di pemakaman umum biasa.

“Sejumlah nisan dengan simbol Freemason, seperti makam Dr. Eyken dan Allaris, menjadi daya tarik utama pengunjung,” jelasnya.

Data sejarah mencatat bahwa organisasi Freemasonry (Vrijmetselarij) memang pernah eksis di Hindia Belanda, termasuk di Malang dengan loge-nya yang bernama Loge Malang (berdiri tahun 1901). Keberadaan makam dengan simbol jangka dan siku (mistar) khas Freemason di Sukun menjadi bukti fisik tak terbantahkan tentang jejaring sosial kaum elit Eropa di Malang pada masa itu.

Selain kaum Mason, makam ini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi para pejabat perkebunan, militer, hingga biarawati yang mengabdikan hidupnya di Malang.

Tanpa adanya pemandu yang paham sejarah (storyteller), nisan-nisan ini hanya akan dilihat sebagai batu mati. Padahal, jika dikelola dengan narasi yang kuat seperti halnya Museum Taman Prasasti di Jakarta atau Peneleh di Surabaya, Makam Sukun memiliki nilai edukasi dan ekonomi yang tinggi.

Benang Kusut Pengelolaan: Antara Fungsi Sakral dan Wisata

Mati surinya wisata Kuburan Londo bukan semata karena pandemi. Masalah fundamentalnya terletak pada ketiadaan sistem pengelolaan yang berkelanjutan dan terintegrasi. Hariani mengakui bahwa Pokdarwis tidak bisa bekerja sendirian alias single fighter.

“Karena tidak ada yang mengelola secara berkelanjutan. Jadi memang perlu dukungan banyak pihak agar bisa hidup kembali,” tegasnya.

Tantangan terbesar pengelolaan Makam Sukun adalah statusnya yang masih merupakan TPU aktif di bawah naungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Pemakaman Umum Pemkot Malang. Berbeda dengan Museum Taman Prasasti di Jakarta yang sudah dinonaktifkan sebagai makam dan murni menjadi museum, Makam Sukun masih menerima jenazah baru. Hal ini menciptakan kerumitan tersendiri dalam zonasi antara area wisata sejarah (makam lama) dan area pemakaman baru.

Hariani menilai perlu adanya “tangan dingin” pemerintah untuk menjembatani hal ini. Koordinasi lintas sektor mutlak diperlukan, melibatkan Kelurahan Sukun sebagai pemangku wilayah, UPT Pemakaman sebagai otoritas lahan, serta Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) untuk aspek promosi dan pembinaan SDM.

“Pokdarwis tidak bisa berdiri sendiri. Apalagi ini masih berstatus TPU aktif. Namun makam-makam kuno peninggalan Belanda tidak akan dibongkar. Gerbang Kuburan Londo juga sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya,” papar Hariani.

Status Cagar Budaya pada gerbang makam seharusnya menjadi modal awal yang kuat untuk perlindungan dan pengembangan kawasan. Namun, tanpa aktivasi program, status tersebut hanya menjadi label administratif semata.

Harapan pada Edukasi dan Storytelling

Meski dalam kondisi “koma”, denyut kehidupan di Makam Sukun belum sepenuhnya berhenti. Kaum intelektual muda masih melihat “berlian” di balik tumpukan tanah ini. Mahasiswa jurusan Sejarah dan Arsitektur dari berbagai perguruan tinggi di Malang masih kerap menjadikan lokasi ini sebagai laboratorium lapangan.

Beberapa bulan lalu, sebuah inisiatif kecil muncul. Hariani berkolaborasi dengan komunitas independen Jelajah Malang mencoba menghidupkan kembali memori kolektif melalui tur terbatas. Responsnya positif, menunjukkan bahwa pasar untuk wisata minat khusus ini masih ada dan lapar akan konten berkualitas.

Ke depan, visi Hariani sederhana namun fundamental: menjadikan Makam Sukun sebagai pusat wisata edukasi berbasis storytelling. Ia tidak ingin makam ini hanya didatangi pemburu konten horor. Ia ingin pengunjung pulang membawa ilmu tentang sejarah perkembangan kota, gaya arsitektur kolonial, hingga sosiologi masyarakat Malang tempo dulu.

“Dari Makam Sukun ini kita bisa belajar banyak hal, nilai sejarah, potensi wisata, sekaligus edukasinya. Bukan sekadar tempat pemakaman,” pungkasnya.

Bola kini ada di tangan pemangku kebijakan dan komunitas Kota Malang. Apakah Kuburan Londo akan dibiarkan terus tertidur dan perlahan hancur digerus zaman, ataukah akan dibangunkan kembali sebagai aset sejarah yang bernilai tinggi? Sejarah mencatat mereka yang pergi, namun kewajiban merawat ingatan ada pada mereka yang masih hidup (rw/dnv).

Exit mobile version