(2) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai -3)

“Lihatlah nak, mereka para lelaki dari bapakmu dan para lelaki sebangsaku. Begitu rajin mencipta, menata tarian rengkah dengan otot merambah luka yang terus menegang resah. Tarian mereka adalah jelmaan hasrat yang serakah bukan untuk seruah berkah.”

“…Tetapi tarian mereka begitu indah merekah. Seperti bunga yang mengembangkan putik birahi pada kumbang. Meski Sungsang hanya melihat tarian itu dari kata orang-orang.”

“Sungsang, anakku lelaki, lihatlah lebih dalam. Tarian mereka merambah barzah, menambah gerah semesta. Keindahan tidak pernah meminta warna darah dan tangisan. Dan, ingatlah anakku, apa yang dikatakan belum tentu sesuai dengan kenyataan.”

“Izinkan aku menarikannya, agar mata yang tak kuminta ini terbasuh, berganti warna seperti kilat tubuhku. Biar seluruh cela terlunasi, izinkan aku menari.” Mataku nyalang menatap ibu yang semakin pucat meredam gulana.

“Duh….Kau yang tersalibkan di daerah Tengkorak, yang tafakur di gua Hira, yang meratap di tembok ratapan, berikan pelita-Mu yang terus menyala di jiwa anakku dan mereka yang berseteru…”.

Doa-doa bertebaran, air mata telah menjelma samudera, tetapi tarian perang tak pernah pupus (bukankah semua telah dinashkan di kitab-kitab, lintang waktu akan berputar dengan sebelah tangan mengapit kerusakan dan tangan yang satunya lagi menggengam damai. Ingatkah kau Dewi, saat para malaikat bersekutu, bertanya dan protes atas kehendak Tuhan?).

Gelegak tarian dari kedua seteru begitu pekat menenggelamkan air mata dan do’a para ibu, menjadi nada yang tak pernah bosan hinggap di tanah yang di beri nama Hindia Belanda oleh mereka yang berkuasa.

Baca Juga  Puisi Arwah Jatuh Cinta

Maka, aku harus keluar menjemput nada itu. Terjun bebas dalam luapan rasa yang belum memiliki nama. Aku rebut kecemasan ibu yang bersemedi di matanya, bergabung dengan sekawanan dari bapakku, lelaki pendiam yang memendam berbagai tarian di wajahnya.

“Lihatlah ibu, betapa cepat kutangkap seluruh gerak tari. Angin mengajarkan berbagai rahasianya. Dan lihatlah Ibu, dengan tarianku mereka pasangkan medali.”

Kuangsurkan selogam medali yang mengkilap merah dengan berbagai tanda dan nama di permukaannya. Medali jasa bagi setiap lelaki yang terpilih zaman, pilihan tuhan. Tak terasa beratus purnama telah kulangkahi dalam tarian ini.

“Duh…anak lelakiku…buanglah segala benda yang kau ambil dengan darah sebagai bayarannya, karena suatu saat benda itu akan meminta kembali darah yang kau rebut…menarilah bersama ibu dalam gerak do’a… .”.

Baca Juga  (4) Kelopak Bunga Satu Tangkai

Air mata itu lagi. Air mata yang tak bisa kulawan, yang meluluhkan segala hasrat. Aku berjuang lepas, menahan segala getar yang merambat.

“Ibu…maafkan Sungsang, ini zaman perang. Zaman yang membutuhkan tarian perang. Do’a adalah kebisuaan di negeri ini. Izinkan Sungsang, melunasi segala cela dan umpat orang-orang atas warna kulit yang Ibu punya. Mata yang Sungsang miliki.”

Aku kecup kening ibu dan berlari menyambut malam yang sempurna terbakar.

Tarianku semakin sempurna. Selalu dahaga meminta telaga, yang mengalir di perut, leher dan anggota tubuh lain para kumpeni. Aku begitu birahi melihat tarianku sendiri. Menatap serdadu kumpeni yang meliuk sekarat dalam maut, terisap dalam getar tarianku. Ah, begitu nikmat. Aku menikmatinya, meski dengan diam-diam, tak terucapkan lewat bahasa.

Sekawanan bapakku memanggilku pahlawan, menambah berjumlah medali di tubuh. Senegeri kumpeni menjuluki inlander kecil bernyawa sembilan. Karena aku memang tak pernah kehilangan nyawa dalam setiap ritus tarian yang diselenggarakan, diam-diam maupun bergerombol. Aku terus menari bersama angin, menarikan birahi perang. Tarian para lelaki, tarian yang tidak pernah disepakati perempuan kencana yang melahirkanku, Ibu (BERSAMBUNG)

*Pecinta Kopi Pait