(4) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai-6)

Goncanglah mereka, murkalah yang punya kuasa. Perseteruan kedua belah pihak sempat terhenti dengan tarian parade kepala. Kepalaku menjadi incaran yang menggiurkan bagi siapapun yang haus akan kuasa. Aku berkelebat dalam gelap meninggalkan bercak darah dan kepala yang terpisah, berpuluh-puluh purnama.

Berpuluh kepala orang terpasak sempurna. Sampai semuanya harus berakhir, ketika kepalaku rengkah dirajam timah kawanan bapak dan kumpeni di senja yang merah, di kuburan ibu dan elizh; ruang meluruhkan amarah.

Jangkar, kawan sepermainan yang begitu kupercaya terbeli logam, menguarkan berita keberadaanku.

Ya, di setiap permainan selalu ada kawan berbelok jalan yang disepakati. Mereka para pengkhianat, manusia-manusia yang terbeli hasrat.

“Maafku Sungsang, aku tidak bisa terlalu lama melihatmu menjadi hantu. Aku juga tidak bisa lepas dari edar takdir yang digariskan. Ini zaman perang, zaman segala kekurangan dan perjuangan untuk mengeyahkan para Kumpeni membutuhkan dana besar. Darahmu yang tak terkotori dendam…akan mengalir dalam darah anak-anak muda lewat uang hadiah yang menjelma ransum makanan. Maafku…”

Baca Juga  Puisi: Hei Lukai Aku Lagi Dong !

Samar aku mendengar isak.

Akupun harus kembali merogoh makna tentang getar yang merambat, pelan. Getar yang sebenarnya tidak menggelegar, tetapi cukup merampas kesadaran di senja yang mengembun petanda.

Getar yang meranggas sunyi di selisih kesadaran waktu yang terus merapuh. Akupun harus kembali bergetar, setelah beratus tahun ngembara dan beribu kali ganti wujud. Seperti getar perempuan yang mengeluarkan dahak darah, aku. 1966 tanpa tanggal.

Aku dinamai Lelaki yang diusia 1 begitu menurut perhitungan mereka, telah akrab menghirup titirah para raja yang kesumat. Menjelmakannya dalam trah kencana jelmaan bayang masa silam. Mengaturnya dengan ego kelelakian.

“Mohon diingat, kelahiranku yang diiringi bandang darah akan menjadi petanda sejarah. Akulah keturunan langsung Wisnu sekaligus Syiwa. Aku mampu mencipta segala yang bernama sekaligus menghilangkan segala yang ada. Maka, aku mohon jangan buat aku marah, karena kuasa Syiwa di tubuhku mampu mencipta kesumat berdarah-darah seluruh yang bernama di luar adaku.”

Baca Juga  Dua Tubuh yang Berpelukan di Perempatan Jalan (1)

Itulah pidato kenegaraan pertamaku. Berjuta orang berebut melahap remah kata-kataku. Mengabadikannya dalam buku, surat kabar, dan televisi. Mereka yang mengaku diri kaum intelektual saling sikat, sikut hingga kusut harga yang ada di diri. Aku sekedar tersenyum.

Bukankah untuk melestarikan kekuasaan, kaum intelektual dan para begawan haruslah ditundukkan sedemikian rupa sehingga mereka melata di ujung kaki. Apabila melawan, habiskan! Kubur dalam-dalam di hutan-hutan tropis yang kelam.

Atau, bungkus mereka dalam karung goni dan lemparkan ke sungai. Atau, sekap mereka di pulau-pulau tanpa akses apapun, seumur hidup. Beres bukan? (BERSAMBUNG)

*Pecinta Kopi Pait