Sastra  

PUISI: BLUE JEANS

PUISI: BLUE JEANS
Ilustrasi puisi (karya Choi So-young)

*dd nana veno

Puisi Blue Jeans

Nomor 1

Diujung mulut daun, angin terakhir
menetes membuka peristiwa.

Dan, sepasang tawon menggigit secarik waktu
hampir tersesat di jaring laba-laba.

Ada yang diam, sayang
kenangan.

Kenapa tak ada kata
saat pinangan merobek uluhati langit

ayat-ayat menjelma ulat
dan bibirku tak pernah menghijau daun

Pestisida yang kau bawa tadi malam, tak pernah mampu
meranumkan apapun.

Ada yang diam, sayang
kenangan.

Mungkin, hanya mulut daun yang memamah angin terakhir
dan sepasang tawon mati, sesore tadi
mengingatkanku atas kata-kata
yang belum sempat lahir.

Bukankah siang tadi ada yang diam-diam
syahwat atas kematianmu?

Mari kita menari
di ujung daun rengkah
dengan meditasi angin terakhir yang kita punya.

Ada yang diam, sayang
kenangan.

Ilustrasi Puisi (karya Choi So Young)

Nomor 2
Derak itu kering
Membasah anyir di dada
Padahal telah kuusaikan luka.

Siapa yang meruncingkan rencana itu.

Pernikahan telah tercipta
Dalam desiran segala yang melindap

Kita sepaham atas itu, untuk membuka tubuh
Runcing kenangan hanya ejaan abjad, bukan ?

Tetapi serpih kaca berteriak gaduh
Mengeluhkan perceraian tak terduga

Ah, seharusnya memang kita paham
Bahasa kekuasaan tak pernah ternisankan

Masihkah kau membuka tubuh
Atas pintu pernikahan yang kini lusuh
Dituduh rahim para perusuh

Siapa yang meruncingkan rencana
Menjadi lapangan perang.

Derak itu kering
Patah-patah menyapa yang terbuka
Kenapa harus ada anyir di dada.

Bahasa.

Nomor 3
yang lebih terluka
adalah dada yang terbuka
tanpa bahasa

maka, tak perlu aku jayakan nama-nama
dan benda-benda

yang memberi kita luka.

Ilustrasi Puisi (karya Choi So young)

Nomor 4
Lantas harus kubahasakan apa
Langit yang terbuka dengan segala tanda

Bukankah hidup adalah kesementaraan
yang cerewet.

*Penikmat kopi pait dan mantan penjual wingko