INDONESIAONLINE – Lautan sejarah dipenuhi sosok pahlawan lelaki. Namun, di tanah Jawa, lahir figur perempuan yang gagah berani. Jika Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai simbol emansipasi perempuan yang lemah lembut, maka Nyi Ageng Serang -dengan pedangnya yang terhunus di medan tempur- adalah simbol keteguhan jiwa seorang prajurit sejati.
Dalam riwayatnya, perempuan bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi itu menjadi legenda yang menorehkan kisah kepahlawanan penuh darah dan keberanian.
Nyi Ageng Serang adalah panglima perempuan Laskar Merah Putih -sebuah pasukan rakyat yang gagah berani dalam menghadapi kolonial Belanda. Riwayat kepemimpinannya bukan hanya mencerminkan ketegaran jiwa, tetapi juga pengorbanan seorang perempuan yang mengangkat pedang demi kehormatan bangsanya. Jejaknya tak lekang dimakan waktu, melintas dari medan perang hingga ke monumen-monumen penghargaan masa kini.
Lahir dari Dinasti Pejuang: Awal Kehidupan
Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1752 di Serang, suatu wilayah yang kini masuk dalam Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah. Kelahirannya bertepatan dengan masa genting dalam Kesultanan Mataram, yang tengah dirongrong oleh campur tangan Belanda. Ayahnya, Pangeran Natapraja, adalah seorang pemimpin lokal setingkat kepala pemerintahan yang tetap setia pada perjuangan melawan penjajahan.
Pangeran Natapraja, yang merupakan pendukung setia Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I), memberikan pendidikan istimewa kepada putrinya. Nyi Ageng Serang, sejak kecil, ditempa dengan ilmu perang, seni berkuda, dan keahlian memainkan senjata. Sebuah pendidikan yang tidak lazim bagi perempuan pada zamannya, namun itu menjadikannya sosok perempuan yang tangguh.
Ketika meletus Perjanjian Giyanti tahun 1755—yang membagi Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta—ayah Nyi Ageng Serang memilih berpihak pada Kesultanan Yogyakarta. Pengabdian ini diturunkan kepada Nyi Ageng Serang sebagai sebuah warisan perjuangan.
Perjuangan Awal: Antara Politik dan Perang
Setelah wafatnya Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1792, Yogyakarta mulai menghadapi infiltrasi Belanda yang semakin mendalam. Belanda menggunakan strategi politik adu domba, menggerogoti otonomi kerajaan dari dalam. Pada tahun 1813, Kadipaten Pakualaman dibentuk sebagai bagian dari skema Belanda untuk memecah belah kekuatan Mataram.
Di tengah situasi ini, muncul Pangeran Diponegoro, pemimpin kharismatik yang menyatukan berbagai kekuatan anti-Belanda di Jawa. Perang Diponegoro (1825–1830) menjadi salah satu episode paling sengit dalam sejarah perlawanan rakyat Jawa terhadap penjajahan.
Nyi Ageng Serang—yang kala itu telah kehilangan ayah dan kakaknya—memutuskan untuk terjun ke medan perang. Dalam usia yang tidak lagi muda, ia tampil sebagai panglima yang memimpin Laskar Merah Putih, sebuah pasukan rakyat yang dinamai berdasarkan bendera khas mereka: merah dan putih, simbol perlawanan dan kesucian.
Nyi Ageng Serang di Medan Juang: Legenda yang Menggentarkan
Kisah kepemimpinan Nyi Ageng Serang di medan perang menjadi legenda yang masih hidup hingga kini. Dengan menaiki kudanya yang gagah, ia memimpin pasukannya menerobos barisan tentara Belanda. Dalam satu pertempuran di wilayah terpencil Yogyakarta, Nyi Ageng Serang digambarkan memacu kudanya secepat kilat, menebaskan pedangnya ke arah para serdadu Belanda. Kepala-kepala para penjajah itu berjatuhan, bergelimpangan di tanah Jawa yang mereka injak dengan angkuh.
Kemampuannya memainkan senjata di atas kuda tidak hanya menakutkan, tetapi juga menginspirasi para prajuritnya. Rakyat Yogyakarta kala itu memberi gelar kepadanya: Djayeng Sekar, yang berarti pendekar perempuan. Gelar ini mencerminkan kekuatan dan keberanian yang jarang dimiliki oleh seorang perempuan di zamannya.
Namun perjuangannya tidak berhenti di situ. Nyi Ageng Serang berperang di sisi Pangeran Diponegoro, menentang segala upaya kolonial Belanda untuk menundukkan Mataram. Ia memimpin pasukannya dengan disiplin dan semangat yang luar biasa.
Tragedi dan Pengorbanan: Harga Sebuah Perjuangan
Dalam perjuangannya, Nyi Ageng Serang harus menghadapi pukulan berat ketika suaminya gugur di medan perang pada tahun 1825. Namun, kehilangan itu tidak menyurutkan tekadnya. Bahkan di usia senja, Nyi Ageng Serang masih turun ke medan perang. Kisahnya menjadi bukti nyata bahwa perjuangan tidak mengenal usia, gender, atau batasan fisik.
Akhir hidupnya datang pada tahun 1828, ketika ia jatuh sakit setelah bertahun-tahun berada di medan perang. Nyi Ageng Serang wafat pada usia 75 tahun, dua tahun sebelum berakhirnya Perang Diponegoro. Kepergiannya menandai akhir dari sebuah babak heroik dalam sejarah perjuangan rakyat Jawa melawan kolonialisme.
Pengakuan dan Warisan Abadi
Nyi Ageng Serang bukan sekadar legenda. Pada tanggal 13 Desember 1974, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974. Pengakuan ini menegaskan peran sentralnya dalam perjuangan membebaskan Jawa dari cengkeraman kolonial Belanda.
Untuk mengenang jasa-jasanya, sebuah monumen didirikan di Gadingan, Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Patung Nyi Ageng Serang yang menaiki kuda dengan tombak di tangan menjadi simbol keberanian perempuan Jawa yang pantang menyerah. Monumen ini tidak hanya menjadi destinasi wisata sejarah, tetapi juga pengingat akan semangat perlawanan yang diwariskan oleh leluhur.
Refleksi Sejarah: Perempuan dan Perlawanan
Dalam catatan sejarah, sosok Nyi Ageng Serang menunjukkan bahwa perempuan bukanlah sekadar pengikut dalam perjuangan, tetapi juga pemimpin dan pemangku perlawanan. Di tengah struktur patriarki Jawa pada abad ke-18 dan ke-19, kehadirannya sebagai panglima perang membuktikan bahwa ketangguhan tidak mengenal gender.
Sejarawan seperti Peter Carey sering menekankan pentingnya memandang sejarah sebagai narasi yang penuh dengan kompleksitas manusiawi. Dalam konteks Nyi Ageng Serang, perjuangannya bukan hanya sekadar pertarungan fisik melawan penjajah, tetapi juga simbol perlawanan terhadap sistem yang meremehkan peran perempuan.
Nyi Ageng Serang, dengan segala heroismenya, adalah suara perempuan yang menggema dalam narasi perjuangan bangsa. Ia bukan hanya tokoh lokal, melainkan ikon nasional yang pantas untuk terus dipelajari dan dikenang.
Inspirasi dari Nyi Ageng Serang
Dalam pusaran sejarah perlawanan rakyat Indonesia, Nyi Ageng Serang berdiri tegak sebagai simbol keberanian, keteguhan, dan pengorbanan. Sosoknya tidak hanya menjadi milik Yogyakarta atau Jawa Tengah, tetapi juga milik seluruh bangsa Indonesia.
Monumen dan penghargaan mungkin menjadi pengingat fisik atas jasanya, tetapi nilai perjuangan Nyi Ageng Serang yang sesungguhnya hidup dalam jiwa bangsa ini. Kisahnya menegaskan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam setiap perjuangan—baik di medan perang, di meja diplomasi, maupun di ruang-ruang peradaban lainnya.
Nyi Ageng Serang adalah singa betina dari Tanah Jawa, yang namanya tak akan pernah pudar di antara legenda-legenda perjuangan Nusantara.