INDONESIAONLINE – Bayang-bayang wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) kembali menghantui Jawa Timur. Data terbaru yang dirilis Pemerintah Provinsi Jawa Timur menunjukkan lonjakan kasus infeksi PMK pada sapi. Tercatat, sejak 1 Desember 2024 hingga 10 Januari 2025, sebanyak 11.317 ekor sapi terkonfirmasi positif terinfeksi virus berbahaya ini.
Lonjakan kasus ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, khususnya para peternak. Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, membenarkan tingginya angka infeksi tersebut. Namun, ia mencoba meredam kepanikan dengan memberikan kabar baik.
“Sekitar 70 persen sapi yang terinfeksi sedang dalam proses penyembuhan dan 22 persen telah dinyatakan pulih,” ujar Adhy pada Sabtu (11/1/2025).
Meskipun angka kesembuhan cukup tinggi, tak dapat dipungkiri bahwa PMK telah merenggut nyawa sebagian ternak. Sekitar delapan persen dari total sapi yang terinfeksi, baik mati karena penyakit atau dipotong paksa untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
Adhy menegaskan bahwa persentase kematian masih relatif kecil, sekitar tiga persen dari total populasi sapi di Jawa Timur. “Kami optimis dapat menangani situasi ini,” tegasnya.
Di tengah meningkatnya kasus PMK, muncul wacana penutupan pasar hewan selama 14 hari sebagai upaya pencegahan. Namun, Pemprov Jatim tampaknya masih enggan mengambil langkah tersebut. Adhy menjelaskan, pemerintah memprioritaskan stabilitas ekonomi masyarakat.
“Kami berfokus pada langkah-langkah pencegahan yang tidak mengganggu aktivitas ekonomi,” jelasnya.
Berbeda dengan kebijakan provinsi, tiga kabupaten di Jawa Timur, yaitu Tulungagung, Situbondo, dan Ponorogo, telah mengambil langkah tegas dengan menutup sementara pasar hewan di wilayah masing-masing. Adhy menambahkan bahwa pemerintah provinsi terus memantau situasi di ketiga kabupaten tersebut.
“Penutupan pasar hewan bersifat sementara. Kami akan membukanya kembali setelah kondisi terkendali,” janjinya.
Kebijakan yang berbeda antara provinsi dan kabupaten ini mencerminkan dilema antara pengendalian wabah dan perputaran roda ekonomi. Di satu sisi, penutupan pasar hewan dapat meminimalisir penyebaran virus. Di sisi lain, penutupan tersebut berdampak pada mata pencaharian para peternak dan pedagang. Tantangan bagi pemerintah adalah menemukan titik keseimbangan antara kesehatan hewan dan kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaan besar yang mencuat adalah, mampukah Jawa Timur mengatasi wabah PMK tanpa harus mengorbankan perekonomian? Akankah kabupaten lain mengikuti jejak Tulungagung, Situbondo, dan Ponorogo dengan menutup pasar hewan? Waktu yang akan menjawab. Yang pasti, kolaborasi dan kesadaran semua pihak, termasuk peternak dan masyarakat umum, sangat krusial dalam memerangi wabah PMK ini (to/dnv).