Fleksibilitas Kerja ASN Malang: Antara Efisiensi dan Ancaman Layanan Publik

Fleksibilitas Kerja ASN Malang: Antara Efisiensi dan Ancaman Layanan Publik
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, Amithya Ratnanggani Siraduhita (io)

INDONESIAONLINE – Kebijakan fleksibilitas kerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tertuang dalam SE Menpan RB Nomor 2 Tahun 2025 disambut dengan hati-hati di Kota Malang. Meski belum ada regulasi turunan, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang menyatakan masih menunggu arahan pusat.

Namun, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang telah memberikan sinyal kuat: fleksibilitas jangan sampai mengorbankan pelayanan publik.

Kebijakan Work From Anywhere (WFA) yang digadang-gadang dapat meningkatkan efisiensi dan keseimbangan kerja ASN ini, justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan wakil rakyat.

Ketua DPRD Kota Malang Amithya Ratnanggani Siraduhita mengingatkan bahwa esensi ASN adalah pelayan masyarakat. Fleksibilitas kerja, menurutnya, tidak boleh menjadi justifikasi untuk menurunkan kualitas atau bahkan menghambat akses masyarakat terhadap layanan pemerintah.

“Kebijakan ini memang terlihat teknis, dan saya yakin Pemkot akan menyiapkan mitigasi. Namun, yang utama adalah bagaimana memastikan kinerja ASN tetap optimal, bahkan meningkat, di tengah fleksibilitas ini,” ujar Mia, sapaan akrabnya.

Ia menekankan bahwa tolok ukur keberhasilan kebijakan ini bukan semata-mata pada kepuasan ASN, melainkan pada kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat.

Mia juga menyuarakan potensi tantangan dalam implementasi WFA secara menyeluruh. “Tidak mungkin semua ASN bisa WFA bersamaan. Mungkin akan diterapkan bergantian, atau hanya untuk posisi-posisi yang tidak langsung bersentuhan dengan masyarakat. Tapi sekali lagi, skema apapun yang dipilih, jangan sampai pelayanan publik terganggu,” tegasnya.

Pernyataan ini mengindikasikan adanya keraguan di DPRD terkait kesiapan seluruh lini pemerintahan Kota Malang dalam mengadopsi sistem kerja fleksibel tanpa mengurangi efektivitas pelayanan.

Di sisi eksekutif, Wali Kota Malang Wahyu Hidayat mengakui masih menunggu petunjuk teknis lebih lanjut dari pemerintah pusat. “Kami belum bisa memutuskan mekanisme penerapannya. Tentu akan kami sesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan,” kata Wahyu.

Pernyataan ini mencerminkan sikap hati-hati Pemkot Malang, yang tampaknya tidak ingin terburu-buru mengimplementasikan kebijakan sebelum ada kejelasan regulasi dan panduan operasional.

Wahyu menjelaskan bahwa konsep fleksibilitas kerja memungkinkan ASN bekerja dari mana saja, namun dengan catatan tetap responsif dan siap sedia jika dibutuhkan.

“Konsepnya memang begitu, bekerja fleksibel lokasi. Tapi, bukan berarti mengurangi tanggung jawab. Sewaktu-waktu diperlukan, ya harus siap hadir dan bekerja,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya pengawasan dan pelaporan kinerja ASN yang menerapkan fleksibilitas kerja melalui sistem pelaporan berkala ke pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Namun, pertanyaan besar yang belum terjawab adalah: bagaimana sistem pengawasan ini akan benar-benar efektif? Mampukah laporan berkala benar-benar mengukur kinerja ASN secara komprehensif, terutama dalam konteks kerja jarak jauh?

Selain itu, kesiapan infrastruktur teknologi dan digital di seluruh OPD juga menjadi faktor krusial. Apakah seluruh ASN memiliki akses dan kemampuan yang memadai untuk bekerja secara efektif dari jarak jauh?

Kebijakan fleksibilitas kerja ASN ini, jika tidak diimplementasikan dengan cermat dan terukur, berpotensi menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan peningkatan efisiensi dan kesejahteraan ASN. Namun, di sisi lain, tanpa mitigasi yang tepat, kebijakan ini dapat mengancam kualitas dan kecepatan pelayanan publik, yang justru menjadi ruh dari keberadaan ASN itu sendiri.

Kota Malang kini berada di persimpangan jalan, menanti regulasi yang jelas dan merumuskan strategi implementasi yang bijak, agar fleksibilitas kerja benar-benar menjadi solusi, bukan justru sumber masalah baru dalam pelayanan publik (rw/dnv).