INDONESIAONLINE – Pada masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib, muncullah sosok tabiin bernama Abu Al-Aswad Ad-Du’ali. Beliaulah yang ditugaskan untuk mengembangkan ilmu nahwu, sebuah disiplin ilmu yang penting bagi umat Islam dalam memahami Al-Quran dengan benar.

Kemunculan ilmu nahwu dilatarbelakangi oleh dua faktor utama, yakni faktor agama yang dipicu kesalahan bacaan Al-Quran marak terjadi setelah Islam menyebar ke berbagai penjuru. Hal ini dikhawatirkan para khutaba dan bulagha karena dapat mengubah makna ayat Al-Quran.

Kedua, faktor nasionalisme arab, dimana bangsa Arab ingin menjaga kemurnian bahasa Arab yang saat itu tercampur dengan bahasa lain.

Dua latar ini pun yang membuat keresahan Abu Al-Aswad Ad-Du’ali dan juga Gubernur Basrah Ubaydillah bin Ziyad.

Kisah tentang Ad-Du’ali dan ilmu nahwu bermula ketika beliau mendengar kesalahan fatal dalam bacaan Surat At Taubah Ayat 3.

Seperti yang diolah dari sumber buku 10 Tema Fenomenal dalam Ilmu Al-Qur’an karya Mochammad Arifin,  kesalahan bunyi bacaan adalah “Anna Allaha bari’un min al-musyrikiin wa rosulihi” yang berarti “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya.”

Baca Juga  Jawaban Cerdas Abu Nawas Saat Ditanya Seorang Raja: Allah Sedang Apa Sekarang?

Harusnya, bacaan surat itu berbunyi, “Anna Allaha bari’un min al-musyrikiin wa rosuluhu” yang berarti “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”

Dari sini ia kemudian membuat sebuah pedoman baku tentang pelafalan Al-Quran bersama penulis lainnya. Dia pun kemudian mulai merumuskan sebuah sistem, yakni sistem shakl (dammah, fathah, kasrah, dan sukun).

“Letakkan titik di atas setiap huruf yang saya baca maftüh (dengan mulut terbuka). Jika saya merapatkan mulut (dammah), maka letakkanlah titik di atas huruf itu. Jika saya membaca dengan kasrah, maka tulislah titik di bawah huruf itu. Dan ketika saya membaca huruf dengan ghunnah, maka letakkanlah dua titik di atas huruf itu,” kata Ad Du’ali.

Dan mulai dari situ, masyarakat pun  kemudian memakai pedoman dari Ad Du’ali. Mereka menggunakan titik sebagai tanda untuk menunjukkan harakat huruf dan kalimat.

Sementara itu, dari sumber yang sama, dalam riwayat lain berbeda, perintah untuk Ad-Du’ali membuat pedoman bukan muncul dari Ubaydillah, melainkan dari Ali bin Abi Thalib.

Saat Ad-Du’ali menemui sang khalifah, ia kemudian bertanya, “Apa yang sedang Anda pikirkan?”

Baca Juga  Gereja di Jombang Manfaatkan Bambu dan Daun Sukun untuk Pohon Natal

Ali bin Abi Thalib RA menjawab, “Aku mendengar di daerahmu terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah risalah tentang dasar-dasar bahasa Arab.”

Setelah itu, beberapa hari setelah, Ad-Du’ali datang dan kemudian membawa sebuah lembaran yang berisi catatan pedoman yang ia buat.

“Bismillah ar-Rahman ar-Rahim, Kalam (seluruhnya) adalah isim, fi’il, dan huruf. Isim adalah (kata) yang menerangkan tentang sesuatu yang diberi nama, fi’il adalah (kata) yang menerangkan tentang perbuatan (sesuatu) yang diberi nama, sedangkan huruf adalah (kata) yang menerangkan makna yang tidak (ditunjukkan) baik dengan isim maupun fi’il.”

Setelah itu, hari berikutnya Ad-Du’ali datang lagi juga membawa sebuah lembaran lagi. Dalam catatan lembaran itu, Ad-Du’ali ia menjelaskan tentang huruf-huruf nashab, yakni إن أن, ليت, لعل كأن. NamunAd-Du’ali tidak memasukkan لكن.

Hal ini kemudian memicu pertanyaan bagi Ali bin Abi Thalib. Ia kemudian  bertanya kepada Ad-Du’ali. “Mengapa engkau tidak memasukkannya?”

Ad-Du’ali kemudian menjawab, “Aku tidak menganggapnya sebagai huruf nashab.”

Ali bin Abi Thalib kembali berkata, “Ia termasuk huruf nashab, tambahkan ke dalamnya” (as/dnv).