Astana Oetara di Solo, Arsitektur Paduan Jawa-Eropa Karya Bung Karno

INDONESIAONLINE – Soekarno atau Bung Karno tidak hanya dikenal luas sebagai pemimpin negara yang visioner dan penggali nilai-nilai Pancasila yang luhur. Bung Karno juga memiliki bakat luar biasa sebagai seorang arsitek.

Warisannya dalam dunia arsitektur tidak hanya terbatas pada bangunan fisik, tetapi juga mencakup berbagai karya monumental yang telah memperkaya sejarah dan budaya Indonesia secara signifikan.

Salah satu karya arsitektur Bung Karno yang sangat bernilai dan penuh dengan sejarah adalah Astana Oetara, tempat peristirahatan terakhir KGPAA Mangkunegara VI, yang dengan elegan menggabungkan elemen-elemen arsitektur Jawa dan Eropa.

Kadipaten Mangkunegaran, bagian integral dari sejarah panjang dinasti Mataram Islam, memiliki dua astana utama sebagai tempat peristirahatan terakhir para pemimpin tertinggi: Astana Mangadeg dan Astana Girilayu di Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Namun, satu pemimpin Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegara VI, tidak dimakamkan di kedua astana tersebut, melainkan di Astana Oetara di Nayu, Nusukan, Kota Surakarta.

Astana Oetara bukanlah tempat pemakaman biasa. Menginjakkan kaki di sana, peziarah seolah dibawa kembali ke masa lalu. Astana ini memiliki keunikan tersendiri dengan desain arsitektur bergaya Art Nouveau yang memadukan arsitektur Jawa dan Eropa, membedakannya dari Astana Mangadeg dan Astana Girilayu. Pembangunan kompleks pemakaman seluas 1,4 hektare ini dimulai pada tahun 1926, dua tahun sebelum Mangkunegara VI wafat.

Desain Astana Oetara adalah karya Soekarno, yang kemudian hari dikenal sebagai presiden pertama Republik Indonesia. Selain menjadi proklamator kemerdekaan, Bung Karno juga dikenal sebagai arsitek yang mewariskan banyak karya arsitektur nasional. Bung Karno, lulusan Teknik Sipil Jurusan Pengairan (Waterbouwkunde) dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menunjukkan bakatnya dalam menggambar dan desain arsitektur sejak muda.

Seorang profesor di ITB, Charles Prosper Wolff Schoemaker, melihat bakat Bung Karno dan memintanya menjadi asisten di berbagai proyek arsitektur. Salah satu rumah terkenal hasil karya mereka adalah rumah Red Tulip.

Di kemudian hari, Soekarno bermitra dengan Ir  Anwari dan Roosseno Soerjohadikoesoemo, yang dikenal sebagai Bapak Beton Indonesia, dalam sebuah biro konsultan arsitektur. Pengalaman ini membentuk kematangan Soekarno dalam mewujudkan berbagai karya di era berikutnya. Ketika menjadi presiden, Soekarno banyak mempekerjakan arsitek dalam negeri untuk merealisasikan ide-idenya atas berbagai bangunan publik di Indonesia, termasuk Tugu Monas di Jakarta yang divisualisasikan oleh arsitek Sudarsono.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VI, yang dikenal dengan nama kecil RM Suyitno atau KPA Dayaningrat, adalah seorang pemimpin revolusioner yang memerintah Mangkunegaran dari tahun 1896 hingga 1916. Sebagai adik dari KGPAA Mangkunegara V, ia naik takhta menggantikan kakaknya pada usia sekitar 40 tahun. Lahir pada 1 Maret 1857, Mangkunegara VI merupakan putra dari KGPA Mangkunegara IV dan RAy Dunuk, yang juga merupakan putri dari KGPAA Mangkunegara III.

Pada masa pemerintahannya, Mangkunegara VI dikenal sebagai pemimpin yang berani dan inovatif. Salah satu langkah revolusionernya terjadi pada 1 Juni 1899, ketika ia mengambil alih seluruh kepengurusan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran dan mengembalikannya ke bawah kendali Praja Mangkunegaran. Kebijakan ini memisahkan keuangan perusahaan dari keuangan kerajaan dan mengakhiri campur tangan residen Belanda dalam urusan keuangan perusahaan. Sebagai hasilnya, semua perusahaan berada di bawah pengawasan seorang superintenden .

Mangkunegara VI juga melakukan modernisasi sektor ekonomi tradisional di wilayah Mangkunegaran. Di bawah kepemimpinannya, lahan-lahan agraris diubah menjadi perkebunan yang lebih produktif dengan penanaman kopi, nila, tebu, dan gula. Prinsip keteraturan dan pengelolaan yang diwarisi dari ayahnya diterapkan secara efektif untuk memaksimalkan potensi wilayah ini.

Namun, kebijakan-kebijakan progresif Mangkunegara VI sering memicu konflik dengan Residen Belanda di Surakarta. Residen Van Wijk, misalnya, kerap melakukan intervensi dan menuntut agar pihak Mangkunegaran berkonsultasi dalam pengelolaan anggaran keuangan kerajaan. Salah satu tindakan tegas Mangkunegara VI adalah penyitaan terhadap Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (perusahaan kereta api swasta Belanda) yang gagal membayar pajak untuk tanah-tanah yang disewanya. Keputusan ini menunjukkan ketegasan Mangkunegara VI dalam mempertahankan otonomi Mangkunegaran dan menolak campur tangan pihak asing dalam urusan domestik.

Dengan berbagai kebijakan dan langkah revolusionernya, Mangkunegara VI mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pemimpin yang berani dan visioner, yang tidak hanya memodernisasi ekonomi Mangkunegaran tetapi juga menentang dominasi asing demi kedaulatan wilayahnya.

Mangkunegara VI, seorang pemimpin yang penuh perubahan dan anti-Belanda, mengalami akhir pemerintahan yang tragis. Beliau memiliki dua anak, KPA Suyono Handayaningrat dan BRAy Suwasti Hatmosurono. Ketika Mangkunegara VI ingin menjadikan putranya sebagai penerus, ia diveto oleh kerabat dan Belanda. Akhirnya, Mangkunegara VI mengundurkan diri dan pindah ke Surabaya. Ia adalah satu-satunya raja Mangkunegaran yang mengundurkan diri atas kehendak sendiri.

Di Surabaya, Mangkunegara VI tetap aktif dalam pergerakan Budi Utomo bersama putra dan menantunya, KPA Suyono Handayaningrat dan RMP Hatmosurono. Mereka bersama Dr. Sutomo mendirikan partai politik bernama Parindra. Mangkunegara VI wafat pada 25 Juni 1928 setelah dirawat di RS Darmo, Surabaya. Jenazahnya dibawa ke Surakarta dan disemayamkan di Tiong Ting atas permintaan masyarakat China, yang merasa dekat dengannya. Selama hidupnya, Mangkunegara VI dikenal akrab dengan rakyat dari kalangan etnis Tionghoa.

Mangkunegara VI memilih Astana Oetara sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, menghindari Astana Mangadeg dan Astana Girilayu karena merasa sudah tidak lagi menjadi pengageng Kadipaten Mangkunegaran. Jenazahnya diberangkatkan ke Astana Oetara dengan kereta kencana. Lahan di Astana Oetara telah dipersiapkan oleh Mangkunegara VI sendiri sejak 1909, dengan luas mencapai 14.000 meter persegi. Selain makamnya, Astana Oetara juga menjadi tempat pemakaman anak-anak dan pengikutnya.

Kompleks Astana Oetara memiliki empat bangunan utama: Kedaton Makam KGPAA Mangkunegoro VI, Pendapa Pantjasila Ing Handayaningratan, Masjid Astana Oetara, dan Galeri. Pendapa Pantjasila Ing Handayaningratan saat ini menjadi pusat berbagai kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan kesenian, budaya, dan keagamaan seperti Laras Madyo, Mocopatan, diskusi kebudayaan, kegiatan ibadah, dan Grebeg Astana Oetara.

Astana Oetara tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir Mangkunegara VI, tetapi juga saksi bisu sejarah dan karya arsitektur yang megah. Dengan desain yang memadukan elemen Jawa dan Eropa, serta ditangani langsung oleh Bung Karno, Astana Oetara menjadi mahakarya arsitektur yang patut diapresiasi. Bung Karno, sebagai seorang arsitek, menunjukkan bakatnya yang luar biasa, mewujudkan impian dan ide-idenya dalam bentuk nyata yang bertahan hingga kini.

Astana Oetara bukan sekadar tempat pemakaman; ia adalah sebuah simbol yang mendalam dari dedikasi, pengorbanan, dan cinta seorang pemimpin kepada rakyatnya. Sebagai sebuah mahakarya yang dirancang oleh Bung Karno, Astana Oetara tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir yang indah, tetapi juga memancarkan nilai-nilai kebesaran jiwa dan komitmen seorang pemimpin terhadap rakyat dan budaya yang dicintainya. Mahakarya Bung Karno ini terus menerus menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus, mengingatkan mereka akan pentingnya menghargai dan melestarikan warisan budaya serta sejarah yang telah ditinggalkan oleh pendahulu mereka. Dengan segala keunikan arsitektural dan historisnya, Astana Oetara tetap menjadi bagian integral dari sejarah panjang Mangkunegaran dan, secara lebih luas, sejarah bangsa Indonesia. Setiap elemen desain dan struktur di Astana Oetara bercerita tentang perpaduan budaya Jawa dan Eropa, menegaskan betapa pentingnya situs ini dalam konteks warisan budaya nasional. (ar/hel)