Sastra  

CERPEN NYALA

CERPEN NYALA
Ilustrasi cerpen (istock)

(04) Cerpen NYALA

dd nana veno

Dan, di depan pintu rumah kita yang terbuka dan selalu berderit itu aku selalu menunggumu. Sebelum semuanya menjadi sempurna gelap. Saat terbangun, entahlah berapa lama aku tertidur ataukah pingsan, aku merasa menjadi manusia asing.

Asing terhadap segala yang ada dan bernama. Aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali namamu. Hanya namamu. Dan, duniaku menjadi dunia yang sangat ajaib. Tiba-tiba, seorang suami yang baik dan tawa anak-anak yang memanggilku mama, menjadi bagian dalam hidupku. Tentunya juga sebuah rumah yang begitu hangat. Hingga suatu ketika….

“Nyala…?” sebuah suara yang sering datang dalam tidur resahku memanggil sebuah nama. Tepat di depanku, di sebuah resto saat matahari seusapan lagi dibenamkan waktu kearah barat.

“Maaf…anda memanggil saya tuan?”

“Bukankah anda bernama Nyala? Istriku…”

“Maafkan tuan…mungkin tuan salah orang. Saya memang sering dipanggil Nyala, tetapi saya yakin bukan orang yang tuan maksud. Oya…permisi Tuan…”

“Tunggu Nyala…ehhh…Nyonya. Sebentar saja. Oh, maafkan saya kalau ternyata saya keliru orang. Nyonya sangat mirip dengan istri saya dulu, dengan nama yang juga sama, Nyala. Kami terpisahkan cukup lama. Sekali lagi maafkan saya.”

Aku melihat raut kecewa dari lelaki itu, matanya yang tajam tiba-tiba merapuh. Ada duka yang begitu lama dalam mata itu, menarik tubuhku untuk kembali duduk. Kini, lelaki itu satu meja denganku.

“Ah…sekali lagi maafkan saya nyonya. Kerinduan telah membutakan mata saya. Tetapi….” Bibir itu tersenyum. Tulus.

“Hampir 30 tahun kami terpisahkan. Politik sebabnya. Saya terbawa arus besar, hanyut hingga Eropa dan menetap di sana, karena tidak bisa pulang. Dan, Nyala, istri saya tetap di negeri ini. Suatu ketika, saat terjadi peralihan kekuasaan, saya akhirnya bisa berkunjung ke negeri ini tanpa sembunyi-sembunyi dan cemas ditangkap di bandara oleh petugas,”

“Pertama kali yang saya cari ketika menginjak negeri ini lagi adalah alamat rumah kami. Tetapi…..semua telah berubah. Rumah kami sudah tidak ada, berubah menjadi plaza. Saya terus mencarinya, bertanya kepada orang-orang yang seusia dengan saya dulu yang masih hidup di sini. Saya yakin, istri saya masih hidup. Masih hidup….Tetapi saya semakin tersesat dalam pencarian ini. Saya tahu pencarian ini tidak akan menghasilkan apa yang saya kehendaki… Ah, maafkan saya yang telah menyita waktu nyonya.”

Ada getir yang begitu dalam di kata-kata lelaki itu. Ada nyeri yang tiba-tiba menyerang dadaku. Ada desir yang entah…

“Tidak tuan…saya tidak merasa terganggu dengan cerita tuan. Kebetulan, kami, saya dan suami memiliki suatu yayasan yang dikhususkan untuk membantu mempertemukan kembali orang-orang yang tercerai berai oleh kondisi politik zaman dulu. Ini kartu nama saya. Kalau tuan berminat singgah, datanglah ke rumah kami. Oya, kalau boleh saya tahu nama tuan?”

“Panggil saya Ara….”

“Ara ?”

Tinggal beberapa jam lagi, aku sampai ke negeri Nyala. Kenangan, ternyata memiliki daya lesat begitu cepat dibandingkan segala teknologi yang ada. Ya, sejak kembali bertemu dengannya di sebuah resto dan dilanjutkan dengan perbincangan panjang di rumah yang difungsikan sebagai sebuah kantor, aku tahu dia adalah Nyala, perempuan yang kucintai, istriku.

Perempuan yang tidak sempat aku cium keningnya dan berpamitan, saat beberapa kawan yang juga dituduh sebagai bagian dari organisasi terlarang itu, mengajakku selekasnya untuk meninggalkan negeri ini (BERSAMBUNG)