Daan Mogot dan Kisah Cintanya yang Bikin Baper

INDONESIAONLINE – Lengkong, Tanggerang Selatan, Banten, tahun 1928. Pertempuran pejuang kemerdekaan Indonesia yang dipimpin Elias Daniel Mogot atau Daan Mogot melawan penjajah Jepang berkecamuk tak seimbang.

Pertempuran yang akhirnya membuat 33 taruna dan 3 perwira gugur, 10 taruna luka berat. Sisanya 20 orang taruna lainnya ditawan. Serta diperintahkan oleh Jepang untuk membuat liang kubur bagi teman-temannya sendiri.

Satu pejuang berpangkat Mayor dan berusia 17 tahun saat itu,  gugur juga di hutan karet Lengkong. Dialah Daan Mogot seorang pejuang kemerdekaan kelahiran Manado,  Sulawesi Utara, 28 Desember 1928.

Dari pejuang kelahiran Manado ini juga lahir sebuah cerita menyentuh hati. Cerita percintaan yang kandas karena maut lebih dahulu merebutnya.

Cerita yang mungkin bila di layar lebarkan akan membuat kita meleleh. Tak kalah dengan film-film romansa Indonesia lainnya. Pasalnya, kisah asmaranya dengan seorang perempuan bernama Hadjari Singgih, dipastikan akan membuat Anda menahan isak tangis kesedihan.

Hadjari Singgih merupakan perempuan yang memiliki rambut panjang sepinggang. Perempuan yang cintanya akhirnya ikut terkubur dengan tewasnya sang kekasih. Sang pahlawan yang namanya disematkan di sebuah jalan antara Tanggerang dan Jakarta, paha dan dadanya dihajar peluru Jepang.

Baca Juga  Teko dan Gelas Blirik: Simbol Perlawanan Petani

Dari berbagai kisah yang tak tercatat dalam buku-buku sejarah di sekolahan. Tewasnya sang Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun membuat siapapun terisak.

29 Januari 1946, saat  pemakaman ulang bagi para pahlawan yang gugur di Hutan Lengkong itu sang kekasih memotong rambutnya yang mencapai sepinggang.

“Potongan rambutnya ikut dikuburkan di liang lahat Daan Mogot. Semenjak itu Hadjari Singgih tidak pernah lagi memanjangkan rambutnya,” tulis berbagai kisah tentang pemakaman yang membuat haru biru yang melihatnya.

Tewasnya Mayor Muda ini terjadi dalam peristiwa pelucutan persenjataan Jepang, 25 Januari 1946. Dalam peristiwa itu ia memimpin 70 taruna MAT dan delapan tentara Gurkha. Serta beberapa perwira polisi tentara untuk mendahului KNIL-NICA Belanda yang sudah di Sukabumi untuk menuju Jakarta.

Pasukan di bawah pimpinan Mayor muda yang juga pelatih PETA di Bali dan Jakarta pada 1942 ini dalam upaya mendahului jangan sampai senjata tentara Jepang yang menyerah kepada Sekutu, terambil Belanda.

Baca Juga  Nyama Selam: Kisah Muslim Pertama di Bali

Tepat di markas tentara Jepang, ia, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti masuk ke kantor Kapten Abe. Sedangkan pasukan taruna menunggu di luar.

Dalam pembicaraan tersebut, Kapten Abe yang memahami kedatangan pasukan Daan Mogot untuk melucuti senjata Jepang dan meminta waktu.

“Kita belum mendapatkan perintah atasan untuk itu. Beri waktu saya menghubungi atasan di Jakarta,” ucap Kapten Abe.

Belum selesai perundingan,  di luar terdengar bunyi tembakan yang disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi dan diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak.

Tembakan tersebut hanya butuh waktu singkat menjadi pertempuran. Pertempuran tidak seimbang tersebut,  membuat Daan Mogot dan pasukan terdesak ke dalam hutan karet Lengkong.

Di Lengkong para tentara Jepang dengan persenjataan lengkap dan jumlah banyak,  menuntaskan perlawanan Daan Mogot dan pasukannya.

Atas perjuangannya itu pula dibangunlah sebuah monumen Lengkong yang terletak di BSD Tanggerang. Selain itu namanya juga diabadikan dalam pemakaian nama  Jalan Daan Mogot. Sebuah jalan yang menghubungkan wilayah Tangerang dengan Jakarta.