INDONESIAONLINE – Teko dan gelas blirik (motif loreng hijau) pernah menjadi simbol perlawanan petani terhadap penjajah Belanda.

Tempat minum sarat sejarah ini awalnya merupakan simbol kejayaan kolonial Belanda. Teko dan gelas blirik jadi identitas yang membedakan antara kaum kalangan bawah -yaitu buruh orang Nusantara- dengan kalangan atas atau bangsawan Belanda yang memiliki banyak buruh.

Seiring berjalannya waktu, para buruh tani menyadari akan penindasan pemerintahan Belanda. Teko blirik akhirnya dijadikan simbol perjuangan para buruh tani. Penggunaan teko blirik tidak hanya ditemukan di kalangan buruh, melainkan orang-orang yang turut membela kaum buruh tani pun turut ikut menggunakan teko blirik.

Sejarah Teko dan Gelas Blirik

Teko dan gelas blirik di Indonesia mulai digunakan setelah perang Diponegoro, 1830. Agen teko blirik yang membawanya ke Hindia Belanda pertama kali adalah seorang pedagang asal Belanda kelahiran Belgia bernama Jan Mooijen.

Baca Juga  Jamasan Gong Kiai Pradah dan Sejarahnya

Ia membuka agen penjualan teko blirik pada tahun 1845 ketika Belanda masih menjajah Indonesia.

Teko blirik dijadikan identitas yang membedakan antara kaum kalangan bawah-buruh orang Nusantara-dengan bangsawan Belanda yang memiliki banyak buruh.

Tercatat, 1908, Pasar Gambir jadi salah satu lokasi penyelenggaraan pasar malam pertama di Batavia. Pasar Gambir juga menjadi tempat pemerintah kolonial untuk memperingati penobatan Ratu Wilhemina, 1898.

Di sana, berbagai wahana permainan dan kios-kios kecil tempat menjual jajanan, kerajinan tangan, dan yang utama adalah teko dan gelas blirik jadi primadona masyarakat.

Soe Hok Gie dalam buku berjudul Di Bawah Lentera Merah, 1921, mencatat Semarang menjadi kota tolok ukur pergerakan politik Indonesia kala itu. Untuk membela perjuangan masyarakat, teko blirik dan topi caping menjadi simbol perjuangan petani, buruh, dan nelayan.

Baca Juga  Nyama Selam: Kisah Muslim Pertama di Bali

Sejak saat itu penggunaan teko blirik sudah meluas. Siapapun yang menggunakan teko blirik, artinya mereka turut membela dan menunjukkan keberpihakkan serta kepedulian kepada masyarakat kaum buruh.

Terlebih teko blirik juga memiliki kualitas yang bagus. Terbuat dari seng dan lapisan enamel, teko blirik terkenal awet dan tahan karat meskipun terkena panas.

Hingga 1960-an, keberadaan teko blirik masih menjadi primadona dan ikon yang kaya akan makna (ina/dnv).