INDONESIAONLINE – Pulau Dewata Bali ternyata menyimpan sejarah masuknya agama Islam. Walau bisa dibilang minoritas, muslimin awal di Bali ini cukup menarik dikupas.

Bahkan, sebuah buku di Bali dengan judul “Sejarah Dalem Waturenggong” secara menarik mengupas kisah muslim di Bali tersebut.

Diceritakan, raja Bali dari Dinasti Kresna Kepakisan di Kerajaan Gel-Gel menghadap ke Majapahit. Pulangnya sang raja ini dikasih hadiah 60 prajurit muslim.

Ke-60 prajurit ini disebut “Nyama Selam”. Artinya, Nyama itu saudara, Selam itu Islam. Ke-60 muslim pertama di Bali adalah hasil didikan Maulana Usman Haji di Majapahit.

Lantas, putra Maulana Usman Haji, yakni Ja’far As-Shodiq mendirikan dakwah di pantai utara Jawa. Karena kangen pada tanah kelahirannya, dia bikin masjid. Namanya Masjid Al Aqsa. Masjid tersebut diberi menara yang sangat khas.

Kemudian Ja’far As-Shodiq membangun kota, sesuai nama kota aslinya. Namanya Al Qudz, karena saat itu Baitul Maqdiz dikenal dengan kota Al Qudz. Maka kota yang didirikan putra Maulana Usman Haji tersehut juga dikasih nama Al Qudz, sekarang disebut sebagai Kudus. Ja’far As-Shodiq juga dikenal sebagai Sunan Kudus

Baca Juga  Birokratisasi Picu Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Madura oleh Belanda

Kisah ini disampaikan oleh salah satu ustaz di Indonesia yaitu Ustaz Salim A. Fillah saat berceramah dan dilansir YouTube Marwah TV.

Menurut kisah yang diceritakan Ustaz Salim, ada seorang dari Palestina, dari Baitul Maqdis. Namanya Maulana Ustman Haji. Ia datang ke Jawa bersama anaknya yang masih kecil. Namanya Sayyid Ja’far As-Shodiq. Ja’far As-Shodiq kelak dikenal sebagai Sunan Kudus.

Ketika datang ke Ampel Denta di Surabaya, Maulana Ustman Haji bertanya kepada Maulana Ahmad Rahmatullah.

“Saya bisa bantu apa untuk dakwah ini?”

Lantas dijawab “Anda orang mana?”

Kemudian dijawab “Orang Baitul Maqdis”.

Kemudian Maulana Ahmad Rahmatullah menjelaskan orang-orang Baitul Maqdis biasanya mujahid.

“Anda bisa jadi pelatih tentara?” Kemudian Maulana Ustman Haji menjawab bisa.

Lantas Maulana Ahmad Rahmatullah merekomendasikan kepada raja Majapahit agar Maulana Utsman Haji dijadikan pelatih tentara Majapahit dengan syarat diperbolehkan untuk menyebarkan agama islam.

Akhirnya Maulana Ustman Haji menjadi guru tentara Kerajaan Majapahit sekaligus mengajar agama Islam untuk tentara.

Keberadaan Nyama Selam ini dari dulu hingga saat ini pun tak pernah jadi konflik. Hal ini sempat disampaikan Ketut Syahruwardi Abbas penulis muslim Bali kelahiran Desa Pegayaman, Buleleng, dilansir dari balisaja.com.

Baca Juga  Bubur Merah Putih dan Larangan Merayakan Kemerdekaan Indonesia

“Umat Islam Bali nyaman dan bangga dengan sebutan itu (Nyama Selam). Di Kampung Kajanan, Singaraja, malah ada ungkapan yang sangat menggelikan, yakni Selam Jawa sebagai sebutan pendatang baru yang tidak taat melaksanakan ajaran Islam, sedangkan mereka yang Muslim Bali dan taat menjalankan ajaran Islam dengan bangga menyebut diri sebagai Selam Bali,” ungkapnya.

Sejak semula, lanjut Abbas, kedatangan umat Islam di Bali, seperti halnya kedatangan orang Jawa yang beragama Syiwa, sama sekali tidak mendatangkan konflik.

Tak ada sejarah yang mengungkapkan konflik fisik yang melibatkan orang Islam dengan penduduk lokal. “Kalau pun mereka terlibat dalam pertempuran, mereka berada dalam barisan prajurit kerajaan tempat mereka tinggal. Karena itulah, hingga kini masyarakat Muslim Kepaon masih tetap memiliki tempat khusus di Puri Pemecutan yang sejajar dengan para keturunan prajurit kerajaan lainnya,” imbuh Abbas.

Hal ini pun tak lepas dari kiprah Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam di Nusantara. (bn/dnv).