INDONESIAONLINE – Wacana kenaikan bantuan keuangan negara untuk partai politik (parpol) kembali mengemuka. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebut angka ideal dana parpol sekitar Rp10.000 per suara sah.
Angka ini jauh melampaui nominal Rp1.000 per suara yang berlaku saat ini, yang dinilai tidak lagi memadai untuk menopang operasional dan kaderisasi parpol.
“Menurut saya angka itu kisaran (idealnya) sekitar Rp10.000,” ujar Muzani di Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta, pada Rabu (21/5/2025).
Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 yang saat ini menjadi landasan hukum bantuan keuangan parpol.
Muzani mengungkapkan bahwa diskursus mengenai kenaikan dana parpol ini bukanlah hal baru. Pihaknya, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), telah lama terlibat dalam serangkaian diskusi untuk merumuskan besaran yang paling rasional.
“Diskusi tentang kenaikan bantuan per suara menjadi berapa memang sudah lama kita lakukan… Kami sudah beberapa kali menggelar pertemuan, baik di LIPI, KPK, bahkan di kantor Gerindra,” jelas Ketua MPR RI tersebut.
Ia mengingatkan bahwa pada awalnya, bantuan negara untuk parpol hanya sebesar Rp108 per suara. Dalam berbagai pembahasan, muncul beragam usulan nominal, mulai dari Rp10.000, Rp30.000, hingga Rp48.000 per suara, sebelum akhirnya pemerintah menetapkan angka Rp1.000.
Kini, dengan KPK kembali membuka ruang diskusi, Gerindra menyambut baik upaya mencari titik temu agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam menentukan angka yang dianggap wajar.
Senada dengan kebutuhan akan pendanaan yang lebih memadai, Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, dalam sebuah webinar pada 15 Mei 2025, secara terang-terangan mengusulkan agar parpol diberikan dana yang signifikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Argumen utamanya, pendanaan yang kuat dari negara diharapkan dapat memutus mata rantai korupsi yang kerap menjerat aktor politik dan partai.
“KPK sudah beberapa kali memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberikan dana yang besar bagi partai politik,” tegas Fitroh.
Menurutnya, akar masalah korupsi seringkali berpangkal pada mahalnya biaya politik untuk meraih jabatan publik, mulai dari tingkat desa hingga kepresidenan.
Fitroh memaparkan bahwa kebutuhan modal besar dalam kontestasi politik kerap memaksa calon atau partai mencari “pemodal”. Konsekuensinya, ketika terpilih, ada potensi timbal balik berupa kemudahan akses bagi para pemodal tersebut terhadap proyek-proyek pemerintah.
“Yang sering terjadi di kasus korupsi timbal baliknya ketika menduduki jabatan tentu akan memberikan kemudahan bagi para pemodal ini untuk menjadi pelaksana kegiatan proyek-proyek di daerah, ini tidak bisa dipungkiri, sering terjadi,” jelasnya.
Transparansi dan Akuntabilitas Jadi Kunci
Meski usulan kenaikan dana parpol dan dukungan KPK untuk pendanaan yang lebih besar mendapat respons beragam, poin krusial yang selalu mengiringi adalah tuntutan transparansi dan akuntabilitas.
Kemendagri, misalnya, mengingatkan pentingnya pengelolaan dana yang transparan jika usulan ini direalisasikan. Sementara itu, PDI-Perjuangan menyarankan agar rencana ini mempertimbangkan kondisi APBN dan tidak dilakukan secara terburu-buru.
Wacana ini menempatkan publik pada persimpangan: di satu sisi, ada harapan bahwa pendanaan negara yang lebih besar dapat meningkatkan kualitas demokrasi, profesionalisme parpol, dan mengurangi praktik korupsi. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa tanpa mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat, peningkatan dana ini justru bisa menjadi ladang penyalahgunaan baru.
Debat mengenai besaran ideal dana parpol ini dipastikan akan terus bergulir, melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mencari keseimbangan antara kebutuhan riil parpol, kapasitas fiskal negara, dan jaminan integritas pengelolaan dana akan menjadi tantangan utama dalam mewujudkan sistem pendanaan parpol yang sehat dan demokratis di Indonesia.