INDONESIAONLINE – Di balik kesuksesan seorang lelaki, selalu ada perempuan di belakangnya. Perempuan-perempuan yang tidak terlihat kiprahnya di depan khalayak, tapi memegang kunci keberhasilan para lelaki.

Sejarah pun telah membuktikan hal tersebut. Dari zamannya kerajaan sampai pada era milineal saat ini. Para perempuan di balik layar sejarah inilah yang telah meneguhkan sejarah yang kini masih kita baca dan pelajari. Tak terkecuali di Malang Raya.

Malang Raya dalam sejarah merupakan suatu kawasan wilayah pusat Kerajaan Gajayana dan Kerajaan Singosari. Dua kerajaan tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan terbesar salah satu pencetus Nusantara II.

Di Malang Raya ini pula para perempuan berpengaruh dalam kerajaan dikenal atas berbagai kepiawaian dan keberadaannya. Meskipun secara simbolik bukan menjadi kepala kerajaan. Keberadaan mereka ini pula yang membuat pengaruh besar dan kuatnya kerajaan di Malang Raya.

Lantas, siapa saja sosok perempuan berpengaruh di Malang Raya pada masa kerajaan? Indonesiaonline menyuguhkannya untuk Anda.

Ken Dedes

Jauh sebelum era kekuasaan Majapahit, yakni era Kerajaan Singhasari rentang waktu 1222 Masehi, terdapat sosok perempuan tangguh yang dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa versi Kitab Pararaton. Dialah Ken Dedes.

Ken Dedes (Ist)

Selain itu, Ken Dedes juga disebut sebagai ibu para raja di Jawa, ibu pararaton. Beliau yang melahirkan raja-raja di Jawa hingga menyambung sampai keturunan Kerajaan Majapahit.

Perempuan yang digambarkan sebagai wanita nareswari (utama) yakni bernama Ken Dedes, seorang istri dari pendiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok. Meski sosok Ken Dedes tidak memimpin kekuasaan secara formal, namun sosoknya dianggap sangat berpengaruh selama pemerintahan Singhasari dan selanjutnya.

Baca Juga  Musala Annur: Saksi Bisu Perjuangan Pangeran Diponegoro di Blitar

Dyah Kusumawardhani

Dyah Kusumawardhani merupakan putri pasangan maharaja Majapahit Sri Rajasa Nagara dyah Hayam Wuruk dengan permaisuri Sri Sudewi atau Paduka Sori atau Trubhuawana Tunggadewi.

Sejarah mencatat, baik tekstual atau sastra kuno dan prasasti, Dyah Kusumawardhani digelari dengan nama ‘Bhre Kabalan’ atau ‘Bathara I Kabalan’, sebutan bagi para penguasa kerajaan vasal (bagian).

Ilustrasi Dyah Kusumawardhani

Dyah Kusumardhani dipercaya memegang komando sebagai raja di kerajaan bagian Majapahit, tepatnya di Nagari Kabalan yang sekarang berada di Dusun Kebalon di wilayah lereng barat gunung Kelurahan Buring, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Sosok perempuan yang digambarkan Prasati Waringin Pitu (1447) sebagai perempuan tangguh nan cantik jelita ini, memegang kekuasaan dalam rentang waktu yang cukup lama, antara tahun 1352-1389 Masehi.

Setelah menjadi ratu di keraton Nagari Kabalan, Kusumawardhani pernah diangkat sebagai ratu Lasem dikenal dalam serat Pararaton sebagai Ratu Lasem Sang Ahayu. Kusumawardhani juga pernah menjadi maharani atau ratu kerajaan Majapahit menggantikan kedudukan suaminya.

Dyah Mahamishi

Masih di Nagari Kabalan, pada zaman kerajaan Majapahit, tepatnya kini Dusun Kebalon di wilayah lereng barat gunung, Kelurahaan Buring, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Sekitar rentang tahun 1441-1447 terjadi pergantian pemegang kekuasaan.

Nagari Kabalan yang semula dipimpin Dyah Kusumawardhani digantikan Dyah Mahamishi. Namun sayang, terkait silsilah dan sosoknya tidak banyak diberitakan dalam teks-teks kuno.

“Ceritanya tidak banyak diketahui. Keberadaan sosoknya hanya diberitakan secara tersirat dalam Prasasti Waringin Pitu sebagai penguasa pengganti Dyah Kusumawardani,” papar Dwi Cahyono.

Baca Juga  Nyama Selam: Kisah Muslim Pertama di Bali

Sri Proboretno

Perempuan tangguh di daerah Malang selanjutnya adalah Sri Proboretno, pribadinya jarang diketahui publik. Sri Proboretno merupakan sosok pejuang perempuan heroik yang dikenal karena keberaniannya dalam mempertaruhkan jiwa raganya di medan perang.

Sri Proboretno yang juga dipanggil Roro Ayu Proboretno ini adalah seorang gadis yang lincah, cantik dan suka ilmu kanuragan. Ia merupakan anak dari Adipati Malang Mancanegara Wetan Mataram Ronggo Tohjiwo yang gugur di medan pertempuran menghadapi ekspansi Kasultanan Mataram terhadap Kadipaten Malang dalam Kisah Babad Malang.

Pernikahannya dengan Raden Panji Pulangjiwo dikaruniai putra bernama Raden Panji Wulung. Raden Pulangjiwo merupakan panglima perang Kadipaten Malang yang nantinya menjadi asal usul Kecamatan Kepanjen di Kabupaten Malang.

Pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram, dalam kitab ‘Babad Tanah Jawi Pesisiran’ diceritakan Adipati Malang dan seluruh Adipati di Bang Wetan (Daerah Timur) menolak tunduk pada Mataram dengan cara tidak mau mengirim upeti.

Sikap Adipati dianggap sebagai bentuk makar dalam kerajaan. Raja Mataram pun mengirim pasukan yang dipimpin oleh Surontani. Sementara itu, Kadipaten Malang juga melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Raden Panji dan Proboretno. Terjadilah perang besar di daerah Bromo Tengger Semeru.

Proboretno tertancap keris Surontani, yang akhirnya meninggal dalam perjalanan kembali ke pusat Kadipaten Malang. Proboretno kemudian dimakamkan secara Islam di Desa Penarukan, yang kini tempatnya di belakang kantor Diknas Kabupaten Malang.