INDONESIAONLINE – Di belantara sejarah Jawa abad ke-17, sosok Raden Trunajaya berdiri sebagai paradoks. Namanya kerap dikutip sebagai simbol pemberontakan, namun jika menelusuri alur hidupnya, terlihat ia justru hasil dari kekuatan pengasuhan istana yang berubah menjadi bara pembangkangan.
Trunajaya bukan hanya narasi peperangan, melainkan sebuah reka luka, intrik keluarga, dan solidaritas rakyat jelata Madura yang membentang lintas generasi.
Anak Lelaki Penuh Luka: Akarnya Dimulai dari Darah
Pada 1656, Trunajaya kecil kehilangan ayahnya akibat eksekusi politik. Jenazah sang ayah dan abdinya lenyap, Trunajaya dibiarkan hidup. Mungkin ia dianggap bocah tak berdaya, bukan ancaman bagi istana.
Nyatanya, justru saat itulah babak baru bermula: dibesarkan di bawah asuhan pamannya, Adipati Sampang, yang lebih sering berada di Mataram daripada di Madura. Di sanalah, Trunajaya muda menyaksikan dan merasakan rumitnya relasi antara penguasa lokal dan pusat. Ia tumbuh di tengah intrik, didikan yang kaku, dan atmosfer penuh curiga.
Pada 1677, Trunajaya mengaku secara terbuka telah “dibesarkan oleh Sunan”, sebagaimana dicatat para penulis Belanda. Bukan sekadar luar istana yang berontak—ia satu keluarga, dididik dan diberi nama kehormatan khas Mataram: Nilaprawata.
Namun, sumur pengasuhan istana itu lebih sering berubah jadi perangkap. Adipati Sampang, pamannya sendiri, berubah posisi jadi saksi dan sekaligus antagonis. Trunajaya dituduh mencoreng kehormatan keluarga, bahkan sempat hendak dibunuh oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Dalam surat-suratnya, rasa tertindas Trunajaya terungkap: “Saya dicurigai telah berbuat salah terhadap paman saya, padahal saya tidak bersalah.”
Tragedi politik ini membuatnya jadi yatim piatu, tidak hanya secara biologis, namun juga politik.
Rakyat Sampang, Rakyat Madura: Jaringan Perlindungan yang Membalut Luka
Pengembaraan hidup Trunajaya di lingkungan istana diwarnai rangkaian pengejaran, namun komunitas Madura justru jadi perisai hidupnya.
“Orang-orang Sampanglah yang menyelamatkan jiwa saya,” aku Trunajaya dalam surat yang emosional.
Jaringan rakyat desa, para demang, dan petani bersenjata menjadi tumpuan politiknya. Nama Demang Angantaka pun menguat—bukan dari kalangan aristokrat, melainkan tokoh rakyat yang loyal dan menjadikan kematian ayahnya sebagai bara dendam kolektif.
Trunajaya bukan sekadar pemberontak. Ia hasil didikan istana yang balik melawan rumah yang membesarkannya. Pemberontakan yang ia mulai tahun 1676 bukan luapan sesaat. Itu adalah akumulasi panjang luka, pengalaman dikhianati, dan dorongan solidaritas rakyat yang menuntut keadilan.
Ia tak hanya merebut Kota Plered dan memaksa raja lari, namun juga mendirikan pusat kekuasaan baru di Kediri, menjadi penguasa dalam sistem yang berbeda—bersandar pada loyalitas rakyat, bukan semata darah biru.
Trunajaya tak datang dari kehampaan. Ia darah Majapahit-Islam, cucu penerus garis Arosbaya, kerajaan Islam pertama Madura. Silsilah ini memberinya aura legitimasi, membalut perjuangannya dengan persahabatan elite lokal dan jejaring spiritual—seperti pernikahannya dengan putri Raden Kajoran yang mempertemukan kekuatan religius dan politik pesisir.
Kesadaran akar Madura sebagai wilayah “tertunduk paksa” usai penaklukan Sultan Agung tetap menyala dalam benak generasi setelahnya.
Konspirasi Terselubung di Balik Tumbangnya Mataram
Jaringan perlawanan Trunajaya bukan hanya urusan keluarga bangsawan. Siasat dengan Adipati Anom (calon Amangkurat II) adalah bagian awal dari upaya mengguncang sentralisasi Mataram.
Ketika konspirasi gagal dan Adipati Anom menarik dukungan, Trunajaya justru mendapat kekuatan lewat aliansi dengan para eksil Makassar—ditandai dengan pernikahan politik dan lahirnya generasi baru pada 1677.
Perang besar antara Madura dan Makassar melawan Mataram/VOC akhirnya tumbang di Bukit Kelud pada akhir 1679. Trunajaya ditangkap, dieksekusi sendiri oleh Amangkurat II, jasadnya dipermalukan: satu cara istana membungkam perlawanan.
Namun kematiannya tidak menghapus jejak. Mitos lokasi makam tak ditemukan membuat Trunajaya menjelma legenda—sosok penentang tiada akhir.
Dalam kaca mata sejarah, pemberontakan Trunajaya bukan sekadar peristiwa senjata. Ia adalah refleksi bahwa luka pengasuhan tiran, ketidakadilan istana, dan pengkhianatan darah mampu mendorong rakyat bertindak. Trunajaya membuktikan bahwa kehormatan, sekali diinjak, bisa menyalakan api pemberontakan yang merebut sejarah.
Hingga kini, Trunajaya berdiri sebagai simbol perlawanan: produk istana yang menolak tunduk, bangsawan yang tumbuh besar karena cinta rakyat, dan legenda yang membangun Madura dan Jawa sebagai tanah dengan warisan keberanian and solidaritas.
Satu pesan abadi melintas dari kisahnya: kekuasaan bisa melenyapkan nama, namun tak pernah mampu memadamkan kebenaran.