Opini  

Kuatkan KPK yang Independen dan Imparsial, Sekjen PDIP Kembali Layangkan Gugatan Praperadilan

Kuatkan KPK yang Independen dan Imparsial, Sekjen PDIP Kembali Layangkan Gugatan Praperadilan

Oleh: Abd. Aziz

Hampir satu bulan KPK menyematkan status tersangka pada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara WS melalui Sprindik No. Sprin.Dik/153/DIK.0P/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024. Selain itu, di saat yang sama, komisi anti-rasuah menduga adanya perintangan penyidikan (obstruction of justice) HM yang belum tertangkap hingga 5 tahun melalui Sprindik No. Sprin.Dik/152/DIK/00/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024.

Sontak, orang nomor dua di PDIP itu melakukan gugatan praperadilan guna menguji sah atau tidak penetapan tersangkanya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang kemudian diputus pada Kamis 13 Februari 2025. Putusan hakim tunggal PN Jaksel Djuyamto atas permohonan praperadilan Hasto berbunyi “tidak dapat diterima”. Hal ini mengkonfirmasi bahwa, politisi yang dikenal kritis itu berhak mengajukan praperadilan kembali dengan sekadar memisahkan antara gugatan terhadap sprindik KPK dugaan penyuapan dan sprindik dugaan merintangi penyidikan. Sederhana, bukan?

Putusan yang berbunyi “tidak dapat diterima” dengan alasan gugatan praperadilan terhadap 2 Sprindik KPK itu, disatukan. Hakim menggunakan hak subyentif atau berdasarkan keyakinan. Adapun pemisahan gugatan, sejatinya tak memiliki landasan yuridis yang konstitusional. Putusan “tidak dapat diterima” artinya menyangkut teknis gugatan yang dinilai mengandung unsur cacat formil. Berbeda dengan putusan ditolak yang berhubungan dengan aspek materiil di mana pemohon tidak mampu membuktikan dalil gugatan (posita) yang didukung saksi, ahli, dan alat bukti.

Tak butuh waktu lama, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali mengajukam gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 17 Februari 2025. Registrasi No. 23/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel terkait penetapan tersangka kasus dugaan suap dengan hakim tunggal Afrizal Jady. Registrasi No. 24/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel terkait dugaan perintangan penyidikan dengan hakim tunggal Rio Barten Pasaribu. Sedangkan sidang perdana akan digelar pada Senin, 3 Maret 2025.

Di saat yang sama, tim hukum Hasto Kristiyanto memasukkan permohonan penundaan pemeriksaan lanjutan oleh KPK demi menghormati proses praperadilan kedua kalinya. Mencermati sidang praperadilan yang pertama hingga putusan, paling tidak, penulis mencatat ada beberapa dasar yang menjadi landasan hukum diajukannya kembali permohonan praperadilan orang nomor 2 di Partai berlambang banteng muncong putih itu.

Pertama, putusan hakim tunggal Djuyamto tampak enggan menyentuh pokok perkara yang menguji sah dan tidaknya penetapan Hasto sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan suap dan perintangan penyidikan. Pasalnya, hakim tunggal itu tidak sama sekali menjadikan substansi sidang pokok perkara sebagai alasan diterima atau ditolaknya praperadilan tersebut. Hakim baru memeriksa konstruksi hukum, teknis penulisan gugatan.

Selanjutnya, hakim sekadar memberi saran pada Hasto agar gugatan dipisah antara sprindik suap dengan sprindik obstaction of juctice. Dari sini, tampak hakim memberikan kesempatan pada Hasto untuk mengajukan praperadilan kembali. Celakanya, entah dari mana sumbernya atau gagal menyimpulkan, tak sedikit pemberitaan media mainstream yang menarasikan bahwa praperadilan Hasto ditolak! Sesuai dokumen hukum, putusannya berbunyi “tidak dapat diterima”. Bagi media, penting untuk teliti membaca putusan suatu perkara agar informasi yang disampaikan ke publik tidak diragukan kebenarannya.

Kedua, sebagai praktisi yang mendirikan Firma Hukum PROGRRSIF LAW, penulis mengikuti live streaming jalannya sidang praperadilan Hasto yang menggugat KPK. Saat melakukan konferensi pers, Ketua KPK SB mengaku melaksanakan pengembangan perkara HM dan memiliki bukti-bukti baru sehingga Hasto ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, sepanjang mendengarkan pemaparan KPK dalam menjawab gugatan Hasto pada praperadilan pertama, penulis tidak melihat adanya bukti-bukti baru yang dimaksud KPK. Pemaparan tim hukum KPK mengenai konstruksi hukum sahnya penetapan tersangka terhadap Hasto masih sama. Tak jauh beda dengan apa yang tersaji dalam sidang perkara HM dengan Komisioner KPU WS yang telah diputus 5 tahun lalu, itu.

Ketiga, analisis penulis, karena substansi catatan kedua di atas soal adanya bukti-bukti baru tidak cukup meyakinkan hakim tunggal, menjadi sebab utama putusan praperadilan pertama Hasto dinyatakan tidak dapat diterima. Apabila tim hukum KPK mampu menghadirkan bukti-bukti baru dimaksud sehingga mematahkan gugatan Hasto, besar kemungkinan putusan praperadilan adalah ditolak!

Nah, di saat yang sama, tim hukum Hasto yang digawangi advokat senior Todung Mulya Lubis dan Maqdir Ismail, tampak serius melakukan pembelaan terhadap sekjen PDIP itu. Menyajikan argumen dan fakta-fakta yang argumentatif. Termasuk, menghadirkan para ahli dengan kualifikasi keahlian yang relevan dengan pokok perkara.

Melihat fakta-fakta persidangan yang disaksikan oleh umum, dugaan penulis, gugatan Hasto potensial diterima. Namun, saat mendengarkan pembacaan putusan hakim tunggal, yang ternyata “tidak dapat diterima” berikut yang menjadi alasan atau dasar putusannya karena disatukannya gugatan terhadap dua sprindik KPK, hati penulis bergumam pelan. “Ternyata, bukan diterima. Juga, tidak ditolak!”.

Lebih lanjut, penulis bertanya-tanya. “Mungkinkah hakim ingin melihat pertarungan dalil yang argumentatif, adu konstruksi hukum dan bukti-bukti pemohon dengan termohon bertanding alias seimbang dalam praperadilan kedua nanti?” Entahlah. Hanya hakim yang tahu dan Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Keempat, jika Hasto diduga terkait dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, penting menyimak histori putusan perkara HM dan WS. Baik pada putusan pengadilan dengan terdakwa WS dan ATF maupun putusan pengadilan dengan terdakwa SB. Dalam Putusan No. 28/Pid.Sus-Tpk/2020/PN/Jkt/Pst Jo Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI, No. 37/Pid.Sus-Tpk/2021/PT.DKI. Jo Putusan Mahkamah Agung, No. 1857K/Pid.Sus/2021 atas nama terdakwa WS dan terdakwa ATF, serta Putusan No. 18/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa SB.

Tidak satu pun nama Hasto disebut di dalamnya, baik dalam peranannya sebagai sekjen PDIP maupun dalam praktik penyuapan yang dilakukan oleh SB bersama-sama dengan DTI dan HM terhadap WS melalui ATF. Satu hal yang penting dicatat, jika pada putusan-putusan tersebut di atas nama Hasto tidak tersebut secara langsung terlibat, mungkinkah ada bukti-bukti baru sehingga Hasto memenuhi kualifikasi ditetapkan sebagai tersangka?

Sekali lagi, dalam banyak kesempatan KPK mengaku telah mengantongi bukti-bukti baru. Karena penulis tidak melihat adanya bukti-bukti baru yang diuraikan di sidang praperadilan pertama, harusnya KPK dapat menyajikannya pada sidang praperadilan kedua yang dijadwalkan pada awal Maret 2025 nanti. Sebaliknya, jika nantinya KPK tak juga dapat menyajikan fakta-fakta baru itu atau “mendaur ulang” bukti-bukti yang telah disidangkan pada tiga peradilan terdahulu, maka akibat hukumnya, perkara yang menjerat Hasto berpotensi melanggar prinsip dalam hukum yang biasa disebut dengan adagium Nebis in Idem.

Sebuah prinsip yang melarang seseorang diadili atas perkara yang sama, seperti dimaksud dalam Pasal 77 KUHP. Konteksnya, penetapan tersangka terhadap seseorang dalam pengembangan perkara yang telah diputus berkekuatan hukum tetap yang sama sekali tidak menyatakan keterlibatan orang tersebut. Apalagi, Putusan Mahkamah Konstitusi, No. 69/PUU-X/2012 menegaskan bahwa suatu perkara yang telah diputus tidak dapat diperiksa kembali kecuali dalam kondisi luar biasa, misalnya ada bukti baru (novum) dalam mekanisme upaya hukum luar biasa PK di MA.

Apa dan bagaimana upaya Hasto dalam menguji sah tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya? Sekjen PDIP itu menyebut bahwa ikhtiar praperadilan yang ditempuh kembali adalah bagian dari mendukung dan menguatkan institusi KPK dengan segenap jajarannya. Juga, menjauhkan KPK dari perilaku oknum penyidik yang patut diduga tidak profesional. Kita tunggu dan simak bersama nanti.

* Penulis adalah ahli hukum pidana, analis putusan pengadilan dan mediator non-hakim. Kini advokat, legal consultant, lecture, columnist, dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW