Oleh: Abd. Aziz
Penulis adalah santri Kiai Chamzawi, Musyrif dan Murabbi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang (2001-2007). Kini, Advokat, Legal Consultant, Lecture, Mediator Nasional, CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW, dan Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)

Saat membuka whatsApp group Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri Malang (IKA UIN MALANG), Rabu (16/8) siang, penulis terkejut membaca status Gus Isroqunnajah, ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ (PCNU) Kota Malang, yang memohon sambung doa atas kritisnya Kiai Chamzawi, Rois Syuriah PCNU Kota Malang, Jawa Timur.

Tidak berselang lama, penulis kembali dikagetkan dengan berita lanjutan yang mengabarkan bahwa Kiai Chamzawi kundur (wafat). Praktis, jantung penulis berdegup kencang mendengar berita duka tersebut.

“Sejak kapan Kiai Chamzawi sakit? Apakah rekam mediknya memang mengonfirmasi adanya kegawatan penyakitnya? Benarkah dilarikannya ke klinik UIN karena ada sesuatu yang emergency, gawat?” Itulah sederet tanya yang berkecamuk dalam pikiran penulis.

Karena sedang berjibaku mengurus Kanjeng Ummi yang sakit sekira dua tahunan ini, penulis belum berkesempatan takziah, menghadiri pemakaman almarhum Kiai Chamzawi. “Besok Kamis (17/8) sore, insya Allah akan segera ke rumah duka,, turut menghibur Ibu Nyai Chamzawi,” gumam penulis dalam hati.

Keesokan harinya, Kamis (17/8) sore, penulis meminta istri bersiap, mengajak takziah ke dalem Kiai Chamzawi (alm) di kawasan Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang, yang tak jauh dari gubuk penulis. Sekira sembilan menitan.

Sesampainya di rumah duka, suasana rumah dinas dewan pengasuh Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang itu diselimuti kesedihan yang mendalam.

Diterima Direktur Ma’had Kiai Badruddin, penulis mengambil tempat duduk. Sedangkan Mbak Lika, bundanya anak-anak, langsung menemui Ibu Nyai Sri Wahyuni, garwo, istri Kiai Chamzawi.

Kiai Bad, biasa saya sapa, berkenan menjelaskan kronologi singkat bagaimana Kiai Chamzawi akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.

“Kiai Chamzawi tidak sakit. Bahkan, dapat disebut jarang sakit. Kemarin, Rabu (16/8) pagi masih ngisi pengajian di Jagalan, Klojen, Kota Malang. Setelah itu, bergegas ke Kantor MUI Kota Malang. Sempat mimpin rapat tapi mendadak minta pulang,” ungkapnya.

“Lalu, karena Kiai Chamzawi meminta pulang, diantar pulang oleh H Yunar Mulya (wakil ketua PCNU dan anggota MUI) menuju kediaman di ma’had. Kemudian, perasaan kiai tidak enak. Keringat dingin mulai bercucuran. Akhirnya, kiai meminta dibawa ke klinik UIN. Waktu turun dari mobil menuju ruang klinik, kiai jalan sendiri. Diperiksalah, dan kondisinya memburuk. Tak lama kemudian, dokter mengabarkan kalau kiai sudah meninggal,” papar dosen Fakultas Syariah UIN Malang yang juga kolega dekat almarhum ini.

Baca Juga  Dimensi Revolusi Diri Ibadah Haji

“Berbicara tentang kepergian kiai, satu hal yang patut kita renungkan. Apa, itu? Ia meninggal tanpa sakit, tanpa riwayat penyakit, dan tidak merepotkan keluarga. Kami berprasangka baik, karena beliau orang baik, meninggal dengan cara yang baik,’ urai eks kaprodi Bahasa Arab STIT NJ, kini Unuja Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo ini.

Mendengar kisah kepergian almarhum, penulis menghela napas panjang. Walaupun kiai meninggal dengan tidak merepotkan keluarga, tetap saja tak dapat menyembunyikan kesedihan. Mata penulis pun berkaca-kaca.

Usai berbincang sekira empat puluh menitan dengan direktur ma’had ini, penulis menemui Ibu Nyai Chamzawi di ruang tamu utama. Suasana berkabung menyelimuti istri Kiai Chamzawi yang bersandar di tembok, tepat di bawah foto keluarga.

“Assalamualaikum, Ibu Nyai Chamzawi?” sapa penulis saat membuka daun pintu. “Waalaikumussalam Mas Aziz, silakan duduk,” jawabnya sambil sejenak menutup wajah dengan kedua tangannya: sedih!

Bertemu istri almarhum, wajah bersihnya tampak memendam kesedihan karena baru 24 jam, Ibu Nyai Chamzawi ditinggal untuk selamanya oleh Kiai Chamzawi, yang selama ini hidup bersamanya. Namun, ia berusaha tegar dalam menerima para pen-takziah yang berdatangan silih berganti.

Ibu Nyai Chamzawi bercerita soal kehidupan bersama almarhum selama ini. Termasuk Kiai Chamzawi yang belum pernah sekalipun marah kepadanya. Anak-anak pun tidak takut kepada Abahnya. Sebaliknya, semuanya sungkan untuk sekadar menyampaikan keinginan kepadanya semasa hidupnya.

“Masakan apa pun, Abah berkenan makan. Tidak pilih-pilih makanan. Kesukaannya minum kopi tiap hari kecuali hari Senin dan Kamis serta bulan Ramadan. Ngopi menjelang hari raya, Idul Fitri maupun Idul Adha,’ kenangnya sesekali tampak mengingat seribu kebaikan almarhum.

Mendengar penuturan Ibu Nyai Chamzawi, tak henti-hentinya penulis coba menghibur dengan kalimat bernada permintaan untuk tidak telat makan dan istirahat agar kondisi badan tetap sehat.

Baca Juga  Cawe-Cawe Pemilu 2024 dalam Perspektif Perfeksionisme Politik

“Ibu Nyai harus sabar, sabar dan sabar. Tidak boleh telat makan dan istirahat. Kiai Chamzawi orang baik. Baik sekali. Tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Sejak dulu, tulus, termasuk memberi ceramah, pengajian hingga ke pelosok kampung,” pinta penulis, dan meyakinkan Ibu Nyai.

Duka dan Testimoni

Akhirnya, penulis turut berduka dan berbelasungkawa yang mendalam atas wafatnya Kiai Chamzawi, Pengasuh Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang pada Rabu Wage, 16 Agustus 2023 M/29 Muharram 1445 H./28 Sura 1957 J.

Sekelumit memberi testimoni pada istri almarhum. Sejauh amatan penulis, eksistensi pesantren kampus yang beralamat di Jalan Gajayana 50 Malang, yang kini berkembang dan berkemajuan hingga diakui banyak kalangan itu, tidak lepas dari kepemimpinan tokoh kharismatik yang bersahaja dan low profile Kiai Chamzawi yang kini berpulang meninggalkan legacy, warisan yang baik.

Saat memimpin ma’had UIN, almarhum kerap melempar senyum. Kiai yang dikenal dengan kesabaran yang membentang itu lekat dengan sikap sederhana dan rendah hati dalam banyak kelebihan.

Berilmu tapi tidak sama sekali menampakkan padatnya isi padi. Sebaliknya, ia kian merunduk. Tak heran, para santrinya makin takzim, amat hormat dan sopan padanya.

Tulus pada siapa pun, nasihat-nasihatnya menyejukkan, dan membuat nyaman siapa saja yang berada di dekatnya, membuat Kiai Chamzawi makin disegani. Dakwahnya pun penuh kelembutan. Jauh dari kesan memaksakan kehendak.

Baginya, ilmu itu harus diamalkan agar potensial berbuah. Soal berbekas pada pendengarnya, dan berpotensi diamalkan dalam kehidupan sehari-hari adalah soal lain. Cukuplah Allah SWT yang mengatur hidayah pada makhluknya. Itulah fakta dan realitas kehidupan Kiai Chamzawi selama ini.

Untuk itu, penulis bermunajat pada-Nya. _”Gusti, kiranya Engkau berkenan menerima amal ibadahnya, menyiapkan surga untuknya, meluaskan ketabahan dan kesabaran bagi keluarga yang ditinggalkan”._

Selamat jalan, Kiai. Bercengkrama dengan Sang Pencipta. Sungguh, para santri merasa kehilangan sosok guru, orang tua sekaligus panutan yang tiada duanya.

Terima kasih atas fatwa-fatwanya. Doa para penderek, pengikut Kiai menyertai panjenengan. (*)