INDONESIAONLINE – Di tengah persiapan kunjungan Presiden AS Donald Trump ke kawasan Teluk, beredar spekulasi mengejutkan dari sumber-sumber diplomatik regional: Gedung Putih dikabarkan tengah mempertimbangkan langkah drastis untuk secara resmi mengakui Negara Palestina.
Kebijakan potensial ini, yang dilaporkan akan mengecualikan Hamas, dapat menandai pergeseran seismik dalam politik luar negeri Amerika Serikat dan merombak total peta diplomasi Timur Tengah.
Langkah pengakuan ini, jika terwujud, akan menjadi antitesis dari dukungan historis AS terhadap Israel. Hal ini dipandang sebagai bagian dari strategi lebih besar untuk memperluas Perjanjian Abraham, inisiatif normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab yang dimulai pada masa jabatan pertama Trump hampir lima tahun lalu.
Di sisi lain, manuver ini juga ditengarai sebagai respons atas meningkatnya frustrasi Trump terhadap penolakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menyetujui gencatan senjata di Gaza.
Arab Saudi, pemain kunci di kawasan, telah lama menyatakan bahwa pengakuan formal atas Palestina adalah prasyarat untuk normalisasi hubungan dengan Israel, sebuah proses yang terhenti akibat Perang Gaza 2023.
Pengakuan dari AS berpotensi meminggirkan Hamas lebih jauh dan mengubah dinamika kekuasaan internal Palestina, sekaligus membuka jalan bagi Riyadh untuk bergabung dalam Perjanjian Abraham. Namun, kunjungan Trump ke Teluk juga diwarnai ekspektasi janji investasi senilai triliunan dolar dari Arab Saudi, menambah kompleksitas motif di balik setiap keputusan.
Trump sendiri telah memicu spekulasi dengan menggoda “pengumuman yang sangat, sangat besar” menjelang lawatannya, menggambarkannya sebagai sesuatu yang “sebesar yang bisa dilakukan” dan “sangat positif.”
Meski demikian, skenario ini dipenuhi kontradiksi dan ketidakpastian. Laporan lain mengindikasikan bahwa AS justru mengurangi tekanan pada Arab Saudi terkait normalisasi dengan Israel sebagai bagian dari negosiasi nuklir.
Selain itu, isu Palestina dilaporkan tidak masuk dalam agenda resmi KTT Teluk-AS, diperkuat dengan absennya mediator kunci seperti Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Raja Yordania Abdullah II, yang keduanya pernah menolak proposal kontroversial Trump di masa lalu.
Pengakuan tersebut kemungkinan besar akan mengecualikan Hamas, yang menguasai Gaza, dan justru memperkuat legitimasi Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas. Abbas sendiri telah mengecam keras Hamas dan menuntut pembebasan tawanan Israel.
Namun, langkah Hamas membebaskan satu-satunya sandera AS yang tersisa pada hari Senin lalu dilihat sebagai upaya menarik simpati Trump, membuka kemungkinan dinamika yang tak terduga.
Otoritas Palestina sendiri diperkirakan akan bersikap hati-hati terhadap pengakuan AS, mengingat rekam jejak dukungan kuat Washington terhadap Israel. Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, bahkan menepis rumor ini sebagai “omong kosong,” mencerminkan sensitivitas dan kompleksitas isu tersebut.
Implikasi Besar dan Gaya Trump yang Tak Terduga
Jika Trump benar-benar mengakui Palestina, dampaknya akan luar biasa. Ini akan mengirimkan gelombang kejutan dalam hubungan internasional, terutama terhadap hubungan AS-Israel, mengingat PM Netanyahu secara tegas menolak solusi dua negara.
Padahal, masa jabatan Trump sebelumnya justru diwarnai kebijakan pro-Israel yang kuat, termasuk pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem.
Namun, gaya kebijakan luar negeri Trump yang seringkali impulsif dan tidak dapat diprediksi membuka pintu bagi langkah-langkah tak terduga. Pengakuan Palestina, meski berisiko memperburuk ketegangan dengan Israel, bisa menjadi cara Trump untuk membentuk kembali proses perdamaian Timur Tengah dan meninggalkan warisan baru melalui perluasan Perjanjian Abraham.
Saat ini, 139 negara telah mengakui Palestina, namun belum ada kekuatan Barat utama seperti Inggris, Jerman, atau Prancis yang melakukannya. Pengakuan dari AS, menurut pengamat seperti Ali Jarbawi dari Universitas Birzeit, dapat mengubah keseimbangan kekuatan dalam negosiasi dan memperkuat posisi Palestina secara signifikan. Potensi pergeseran kebijakan ini, dengan segala konsekuensi dan ketidakpastiannya, kini menjadi sorotan utama menjelang kunjungan Trump ke Teluk.