Uncategorized  

Marak Korban Kekerasan Seksual Bagikan Cerita Pahit di Medsos, Ternyata ini Alasannya

Marak Korban Kekerasan Seksual Bagikan Cerita Pahit di Medsos, Ternyata ini Alasannya

Marak Korban Kekerasan Seksual Bagikan Cerita Pahit di Medsos, Ternyata ini Alasannya

INDONESIAONLINE – Banyak korban kekerasan seksual yang saat ini lebih memilih media sosial sebagai wadah untuk dirinya bercerita. Terutama mengenai peristiwa pahit yang telah dialami. Hal itu tentu dilatarbelakangi dengan alasan yang cukup kuat.

Program Director Women’s March Malang sekaligus aktivis perempuan Reni Eka Mardiana mengatakan, fenomena tersebut saat ini sedang tren dengan sebutan ‘Spill The Tea’. Di mana korban kekerasan seksual bercerita secara terbuka dengan gaya bahasa yang dirasa nyaman untuk dirinya. 

Tren ‘Spill The Tea’ dilakukan karena jika peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dilaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH), menurutnya penanganan akan lama. 

“Maka dari itu kita mainkan media sosial, kita ‘bom’ media sosial, karena kondisinya saat ini baru viral, baru bisa ditangani. Itu memang sebuah tren, yang mana kalau kita mengandalkan laporan tapi laporannya disendat-sendat kayak gitu, akhirnya kita spill the tea,” ungkap perempuan yang akrab disapa Rere kepada JatimTIMES.com, Jumat (10/12/2021).

Menurutnya, penggunaan tren ‘Spill The Tea’ dapat menggalang dukungan dari media sosial. Hal ini akan membuka potensi penanganan kasus kekerasan seksual agar dapat tertangani dengan cepat dan adil. 

“Nyatanya kan berhasil, meskipun pada konotasinya nanti terkesan reaksioner. Itu memang caranya, cara itu berhasil,” terang Rere.

Sementara itu, menurut Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus akademisi yang konsen terhadap media yakni Nurudin menyampaikan, bahwa tren ‘Spill The Tea’ merupakan bukti perubahan zaman dan perkembangan teknologi. 

Dengan begitu, berbagai macam kejadian dapat disuarakan melalui media sosial. Termasuk kejadian-kejadian kekerasan seksual yang juga berpotensi disebarluaskan melalui media sosial, dalam hal ini twitter dengan menuliskan sebuah tweet. 

Selain itu, tren ‘Spill The Tea’ juga bisa menjadi ruang untuk menyindir. Dalam hal ini ketika masyarakat yang memiliki masalah, namun kesulitan melapor untuk segera ditangani oleh lembaga resmi yang berkompeten. 

“Bisa jadi prosedurnya njelimet (rumit), secara administratif tidak gampang atau bisa jadi tidak segera ditanganinya kasus itu dan  sebagaimana kita tahu hal-hal semacam itu kan masih hidup di Indonesia,” ujar Nurudin. 

Menurutnya, wajar ketika zaman sudah mulai berubah, penyaluran keluh kesah tidak dalam buku diary atau buku catatan khusus. Melainkan dengan media sosial, akan membuka peluang mendapatkan perhatian, simpati bahkan empati dari masyarakat.

“Kalau lembaga resmi negara atau yang menangani kasus itu tidak ikut terbuka sebagaimana tuntutan dari termasuk fenomena media, maka hemat saya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga akan semakin berkurang,” jelas Nurudin.

Dengan begitu, citra dari suatu lembaga tersebut juga akan terpengaruh. Pasalnya, hal-hal yang selama ini belum muncul di permukaan, akan cepat sekali menyebar jika masalah tersebut dibagikan melalui media sosial. Termasuk kasus kekerasan seksual yang dialami almarhumah NWR (23). 

“Salah satu diantaranya itu (kasus NWR), saya yakin kalau itu tidak viral. Saya agak sanksi itu nanti akan terproses itu. Bukannya saya tidak percaya lembaga hukum, tapi kan kita melihat rentetan kasus beberapa hal dikhawatirkan seperti itu,” pungkas Nurudin. 

(Ody/pit)