INDONESIAONLINE – Situs Setono Gedong di Jalan Doho, Kota Kediri, Jawa Timur (Jatim) merupakan warisan berharga bagi masyarakat.

Pasalnya, Setono Gedong jadi jujugan kalangan spiritual, para peneliti dan pecinta sejarah untuk mengulik dan menelusuri kisah dan sejarah masa lalu.

Diketahui, di Setono Geding terdapat makam sejumlah tokoh, termasuk wali, ulama, dan pejabat tinggi dari era kerajaan dengan darah biru. Sebuah tempat yang tidak hanya memancarkan keindahan arsitektur dan lingkungan, tetapi juga menjadi jendela yang membuka wawasan terhadap kejayaan dan kebijaksanaan masa lampau.

Beberapa tokoh yang dimakamkan di tempat ini diantaranya Syech Syamsuddin al-Wasil,Sunan Bagus, Panembahan Wirasmara, Pangeran Demang I,  Sunan Bakul, Sunan Kabul, Wali Akba, Pangeran Sumende, Sunan Bagus, Kembang Sostronegoro, Mbah Fatimah dan Sri Susuhunan Amangkurat III (Raja ke-6 Kasultanan Mataram Islam).

Di situs ini terdapat pula beberapa makam keturunan dan pengikut setia Sri Susuhunan Amangkurat III. Diantaranya Pangeran Teposono (Putera Amangkurat III) dan Raden Ajeng Reksoprodjo (Abdi Dalem Amangkurat III). Serta R.Ng Pringgodigdo (Bupati  ke-4 Nganjuk, menjabat 1852-1878, mertua Patih Blitar Djoyodigdo).

Dari keseluruhan tokoh yang dimakamkan di Setono Gedong, tokoh al- Wasil atau Syech Syamsudin al-Wasil adalah yang paling banyak diziarahi. Cerita turun temurun Kediri menyebutkan tokoh yang tenar dengan nama Mbah Wasil itu adalah Pangeran Mekah yang diperintahkan untuk datang ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa).

Baca Juga  Menelusuri Candi Boyolangu dan Kisah Gayatri Rajapatni di Tulungagung

Setelah menginjakkan kaki di pulau Jawa, Mbah Wasil sempat bermukim di wilayah Kabupaten Nganjuk tepatnya di wilayah Kecamatan Sawahan yakni di Gunung Wilis (Sadepok).

Menurut cerita lisan di Kediri, Mbah Wasil memiliki pengikut sekaligus murid yaki Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan. Dakwah Mbah Wasil tidak hanya pada tataran kemakrifatan saja. Namun dilanjutkan ke wilayah Kediri, dakwah/ syi’ar beliau sampai kepada Prabu Joyoboyo, raja dari Kerajaan Kediri.

Melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya Sri Aji Jayabaya pun menimba ilmu kemakrifatan. Sehingga Syekh Al Wasil Syamsudin memiliki dua murid dengan tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda. Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan), sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yang berbeda.

“Hubunganya dengan Prabu Joyoboyo ini dikisahkan cukup menarik. Menurut cerita turun temurun Kediri, beliau (Mbah Wasil) ini ikut membantu Joyoboyo membuat kitab ramalan Jangka Joyoboyo yang terkenal itu. Wallahualam,” kata Juru Kunci Situs Setono Gedong, Muhammad Yusuf Wibisono.

Catatan historiografi Jawa yang terdapat di Museum Nasional Jakarta mengungkap bahwa al-Wasil, ulama asal Negeri Ngerum (Persia), datang ke Kediri atas permintaan Raja Kediri Sri Aji Jayabaya. Tugasnya adalah membahas Kitab Musyarar yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti ilmu falak dan nujum (ramalan). Menurut catatan versi ini, Mbah Wasil tiba di Kediri pada abad ke-12, di saat Jayabaya membawa Kerajaan Kediri menggapai puncak kejayaan.

Baca Juga  Perjalanan Nitisemito Raja Kretek Kudus

Dalam Naskah Serat Jangka Jayabaya pada abad ke-17, karya Sri Aji Jayabaya yang meramal masa depan Nusantara, terdapat kaitan dengan tokoh Syaikh Syamsuddin al-Wasil dari Rum (Persia). Meskipun catatan historiografi Jawa menyebutkan bahwa al-Wasil berasal dari Rum, inskripsi yang merujuk pada kata al-Abarkuhi mengaitkannya dengan kota kecil Abarkuh di Iran.

Menurut Habib Mustopo, Syaikh Syamsuddin al-Wasil berperan penting dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di pedalaman Kediri pada abad ke-12. Setelah meninggal, makamnya yang awalnya terbuka dibangun oleh Bupati Kediri, Suryo Adilogo yang merupakan mertua Sunan Drajat.

Pembangunan makam ini terjadi pada abad ke-16. Oleh sebab itulah, meskipun secara arkeologis bangunan makam al-Wasil berwajah bangunan abad ke-16, makam itu sendiri sudah ada sejak abad ke-12 di kompleks pekuburan Setono Gedong.

Hubungan antara Syaikh Syamsuddin al-Wasil dan Sri Aji Jayabaya digambarkan sebagai guru dan murid dalam Kakawin Hariwangsa. Sri Aji Jayabaya, dalam kisah versi ini adalah titisan Wisnu, diyakini memiliki hubungan spiritual dengan gurunya Agastya. Meskipun sulit merekonstruksi sejarah al-Wasil, catatan historiografi dan cerita tutur masyarakat Muslim Jawa hingga kini sangat menghormati al-Wasil. Makam al-Wasil di Setono Gedong tak pernah sepi dari peziarah (ar/dnv).

 

Artikel telah tayang di www.jatimtimes.com