JATIMTIMES – Tubuhnya yang renta di usia 84 tahun (saat saya bertemu beberapa kali dengan beliau) tak menyurutkan semangatnya memikirkan nasib Satpam yang dibidaninya 41 tahun lalu. Tak banyak junior-juniornya yang memiliki visi setajam sosok Kapolri ke-8.

Saya bisa membayangkan kalau beliau saat ini masih hidup, melihat kebijakan junior-juniornya yang hanya menjadikan anak asuhnya sekedar objek dengan mengatasnamakan pemuliaan. Saya yakin beliau akan sedih, marah, bercampur jadi satu, dan kemudian dengan geram berujar “sontoloyo”.

Sosok tua eyang Awaloedin begitu semangat memikirkan masa depan satpam, beliau pula yang selalu getol memisahkan aturan tentang Satpam sebagai bagian sekuriti modern dengan satkamling yang merupakan bagian sekuriti tradisional dan kearifan lokal masyaraakat. Tapi kemudian (setelah beliau meninggal) disatukan dalam PERKAP 4/2020 tentang pamswakarsa.

Bisa dibayangkan bagaimana sosok 84 tahun itu selalu menghadiri pertemuan-pertemuan terkait satpam, dengan mengandalkan uang pensiunan Kapolri dan terkadang royalti buku-buku karyanya. Tentu saja juga honor sebagai pembicara. Sangat jauh berbeda dengan para juniornya yang memiliki perusahaan-perusahaan jasa pengamanan, pak Awal tidak memiliki BUJP. Hidupnya hanya fokus pada bagaimana membangun Satpam, bukan untuk mencari kekayaan melalui BUJP, yang tentunya sangat mudah bagi beliau sebagai bapak Satpam.

Wacana perubahan seragam satpam itu sudah 9-10 tahun lalu ada, tetapi hanya bagian kecil dari upaya peningkatan dan profesionalisme sekuriti industri.

Pembangunan sekuriti industri modern diawali dengan membentuk Peraturan Kapolri 24/2007 tentang sistem manejemen pengamanan yang intinya fokus pada manajemen Satpam. Dalam perkembangannya peraturan itu dirasa tak cukup untuk mengatur industri jasa pengamanan  yang semakin kompleks terkait kebutuhan jaman. Diantaranya kebutuhan akan Satpam bersenjata untuk perbankan, pengawalan distribusi uang dan barang berharga, maupun spesifikasi-spesifikasi bidang lain, seperti Migas, perhotelan, perhubungan, kelistrikan, kebutuhan device, maupun investasi asing di bidang jasa pengamanan ini.

Di awal tahun 2014 saya bersama mas Dino Hindarto, abangnda Darly Siregar, mas Agust Pramono, mbakku yang cantik Inne Jarvis, bu Melissiana Kriswandi, mas Toto Trihamtoro menginisiasi terbentuknya Komite Sekuriti Industri Indonesia, yang merupakan forum asosiasi terkait industri pengamanan, yang kemudian mendapuk mantan Wakapolri, Komjen. (Pol) purnawirawan Oegroseno Roestamsantiko sebagai ketuanya. Terdiri dari 8 asosiasi, Asosiasi Badan Usaha Jasa Pengamanan Indonesia (abujapi), ASIM (asosiasi sekuriti industri Migas), perwakilan APSA (Asia Pacific Security Association), ISCPP (international specialist crime prevention practioner), LKCK (lembaga cegah tangkal kejahatan) , ASIS, Apjatin (asosiasi jasa distribusi uang dan barang berharga) dan ASPRI (asosiasi satuan pengamanan RI).

Baca Juga  Opini: Gus Dur yang Saya Ketahui

Saat itu hanya 1 asosiasi yang “tiba-tiba” (karena dalam pertemuan di ruang rapat Mabes Polri sebelumnya menyatakan sepakat) menolak bergabung, yakni AMSI (asosiasi manager sekuriti Indonesia) yang sekarang ganti nama menjadi APSI (asosiasi profesi sekuriti indonesia).

2017-2019 Kabaharkam saat itu, Komjen Moechgiyarto membentuk tim yang terdiri dari 9 asosiasi untuk membahas berbagai topik terkait aturan tentang Satpam, Perusahaan penyedia jasa pengamanan, termasuk rencana perubahan seragam Satpam. Saat itu tim menunda dulu perubahan seragam Satpam, dan lebih fokus bagaimana menata infrastruktur pembangunan sekuriti industri ini. Diantaranya mengatur bagaimana peningkatan kompetensi dan kesejahteraan satpam, demikian juga dengan aturan terkait BUJP, termasuk pengawasan dan sanksinya.

Sayangnya, sebelum konsep tersebut kelar diusulkan kepada Kapolri untuk ditanda tangani sebagai Perkap. Moechgiyarto dipromosikan menjadi Irwasum pada 26 April 2019 diganti Komjen Condro Kirono, sebagai penghargaan menjelang pensiun. Belum juga tuntas, 7 bulan kemudian Kabaharkam berganti Komjen Agus Andriyanto pada 8 November 2019.

Dan entah mendapat bisikan darimana, konsep pemuliaan satpam yang melibatkan banyak pihak tersebut tiba-tiba disodorkan kepada Kapolri dan ditanda tangani 20 agustus 2020 yang intinya mengubah seragam satpam, sedangkan substansi lainnya seperti diatur dalam perkap 24/2007 tentang sistem manajemen pengamanan nyaris tak berubah.

Lebih parah lagi ditambah dengan memasukan siskamling dalam Perkap tersebut menjadi 1 dengan judul Perkap Pamswakarsa. Sesuatu yang ditentang bapak Satpam sejak dulu.

Baca Juga  OPINI: Menghindari The Valley of Death PT di Era 4.0

Kebijakan yang grusa-grusu tersebut akhirnya diubah kembali di awal 2022 ini dengan rencana mengubah baju seragam satpam kembali. Soal-soal yang substansial seperti kesejahteraan satpam, peningkatan profesionalisme nyaris tak pernah dibahas lagi.

Sontoloyo bukan?

Landasan aturannya ? Konon akan jadi Perkap nomor 22 tahun 2022.

Dan diantara 9 asosiasi, yang diajak bicara hanya Abujapi, asosiasi para bos BUJP dan APSI, asosiasi elit yang mengaku satpam, yang tak pernah mau mendengar keluh satpam di bawah, seperti “Cicilan yang kemarin saja belum kelar, ini disuruh mencicil lagi”.

Dan konon ada petinggi asosiasi yang pernah disemprit KPK karena hendak memonopoli pengadaan seragam yang mirip polisi ini.

Dimana draftnya? sampai sekarang di era teknologi dan transparansi berkeadilan yang menjadi jargon Kapolri, nyaris belum terdeteksi.

Kabagpenum Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan di TV tentunya bisa dimaklumi bila menyampaikan pernyataan yang standar normatif dan penuh retorika sebagai bagian tugasnya, karena memang polisi tak banyak yang tahu apalagi peduli soal sekuriti industri ini.

“Seragam tersebut dibebankan kepada perusahaan pengguna jasa satpam,” katanya. Teorinya begitu. Tapi siapa yang menjamin bahwa tidak dibebankan kepada Satpam ? Siapa yang akan mengawasi ? Polisi ? Mengawasi personelnya saja masih kedodoran apalagi mengawasi satpam.

Bagi yang tahupun rata2 hanya paham bahwa sektor yang terdiri dari 1800an perusahaan BUJP dan sekitar 1,6 juta Satpam ini enak buat dipungli.

Apalagi bagi para politisi di Senayan. Mereka lebih memilih dikawal polisi afau TNI meski merebut hak2 publik yang diwakilinya, daripada dikawal Satpam yang tentu harus bayar sendiri, meski itu melanggar aturan yang dibuatnya sendiri.

Kalau memiliki visi, tentunya mereka memikirkan dan menginisiasi UU tentang sekuriti industri ini.

Penulis: Bambang Rukminto, merupakan pengamat Kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS)



Bambang Rukminto