Beranda

Pangeran Purbaya: Sang Penjaga Takhta dalam Prahara Darah Mataram

Pangeran Purbaya: Sang Penjaga Takhta dalam Prahara Darah Mataram
Ilustrasi sosok Pageran Purbaya sang Penjaga Tahta Mataram dengan segala kompleksitas perannya (io)

Menelusuri jejak Pangeran Purbaya dari Perang Batavia hingga Trunajaya. Sebuah epik sejarah tentang loyalitas, intrik keraton, dan takdir Wangsa Mataram.

INDONESIAONLINE – Di bawah langit Jawa abad ke-17 yang kerap tertutup asap mesiu, sejarah tidak hanya ditulis dengan tinta, melainkan dengan darah dan sumpah setia. Dalam bentangan waktu yang riuh itu—di antara ambisi Sultan Agung Hanyakrakusuma yang meluap-luap dan senjakala kekuasaan yang mulai meretak di tangan Amangkurat I—satu nama berdiri tegak laksana karang di tengah ombak samudra selatan: Pangeran Purbaya.

Namanya melintasi zaman, terselip di antara lembaran kertas rapuh Daghregister milik VOC yang dingin dan kaku, sekaligus hidup subur dalam tembang macapat serta cerita tutur masyarakat Jawa yang penuh metafora. Ia bukan sekadar tokoh; ia adalah jembatan yang menghubungkan mitos dengan realitas politik yang brutal.

Sosoknya adalah sebuah paradoks yang memikat: bagi Belanda, ia adalah teka-teki militer yang berbahaya; bagi Mataram, ia adalah “banteng ketaton”—pelindung wangsa yang tak tergoyahkan.

Kisah Pangeran Purbaya bukanlah sekadar biografi linier seorang bangsawan. Ini adalah sebuah perjalanan menembus kabut sejarah untuk memahami bagaimana identitas seseorang dibentuk oleh perang, pengorbanan, dan kesunyian seorang panglima tua yang menyaksikan dunia yang dibangunnya perlahan terbakar.

Gema Meriam di Batavia: Antara Arsip dan Ingatan

Tahun 1628 dan 1629 adalah tahun-tahun neraka bagi ambisi Mataram. Sultan Agung, dengan visi menyatukan Jawa, mengirimkan gelombang manusia untuk menghantam benteng Kasteel Batavia. Di sinilah legenda Pangeran Purbaya mulai menemukan bentuk fisiknya yang paling keras.

Tradisi lisan Jawa mengenangnya sebagai panglima dengan kesaktian linuwih. Ia digambarkan berdiri sejajar dengan Tumenggung Baureksa dan Pangeran Mandurareja, memimpin pasukan yang kelaparan dan didera wabah dengan keteguhan hati yang nyaris mistis.

Namun, jika kita menyingkirkan sejenak kabut legenda dan menengok arsip kolonial, kita menemukan konfirmasi yang mengejutkan tentang eksistensinya.

Sebuah surat dari pemerintah Kompeni tertanggal 15 Desember 1629 mencatat kehadiran seorang tokoh bernama “Quiay du InDrobaya, neve van de Mattaram”. Para pejabat VOC, yang kerap kali gagal memahami kompleksitas struktur sosial Jawa, menyebutnya neve—sebuah istilah longgar dalam bahasa Belanda yang bisa berarti keponakan, sepupu, atau kerabat dekat.

Kekeliruan penerjemahan ini fatal, namun justru di sanalah letak menariknya. Ketidakmampuan VOC mendefinisikan posisi Purbaya secara presisi justru menegaskan bahwa ia adalah bagian dari lingkaran inti kekuasaan yang tak tersentuh.

Ketika ekspedisi Batavia berakhir dengan kegagalan tragis—di mana lumbung padi dibakar dan mayat bergelimpangan di sungai Ciliwung—banyak panglima besar kehilangan kepala mereka atas perintah Sultan Agung. Tumenggung Sura Agul-Agul dan Pangeran Mandurareja dihukum mati sebagai bayaran atas kegagalan tersebut.

Namun, Purbaya selamat. Ia tidak dieksekusi. Fakta bahwa ia tetap hidup dan memegang jabatan strategis pasca-bencana Batavia adalah bukti tak terbantahkan: ia memiliki imunitas darah. Ia bukan sekadar jenderal; ia adalah pilar penyangga legitimasi Sultan Agung sendiri.

Labirin Genealogi: Kakak yang Menjadi Paman

Siapakah sebenarnya Pangeran Purbaya? Pertanyaan ini membawa kita masuk ke dalam labirin silsilah Mataram yang rumit. Dokumen Belanda di tahun 1668, melalui utusan bernama Verspreet, menyebutnya sebagai “kakek putra mahkota” (grootvader van de kroonprins). Sementara itu, ketika Purbaya gugur pada 1676, Pangeran Adipati Anom (kelak Amangkurat II) menyebutnya sebagai “paman tertua”.

Variasi sebutan ini—dari neve hingga embah gedhe—mencerminkan betapa cairnya konsep kekerabatan Jawa di mata orang asing, sekaligus betapa tingginya posisi Purbaya. Secara biologis dan adat, mayoritas sumber primer menyepakati satu hal: Purbaya adalah putra Panembahan Senapati dari Kanjeng Ratu Giring (Niken Purwasari).

Ia terlahir dengan nama Jaka Umbaran. Dalam Babad Nitik, dikisahkan bahwa ia sejatinya adalah kakak dari Sultan Agung. Namun, karena Sultan Agung lahir dari permaisuri utama (putri Pangeran Benawa dari Pajang), takhta jatuh kepadanya.

Purbaya, dengan kerendahan hati seorang pertapa yang diwarisi dari kakeknya Ki Ageng Giring, menerima posisi sebagai pelindung adiknya. Ia adalah kakak yang memosisikan diri sebagai abdi, namun dihormati selayaknya paman atau sesepuh oleh generasi berikutnya.

Legenda tentang “wahyu kelapa muda” (degan) yang diminum Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan menjadi latar belakang spiritual yang tak bisa diabaikan. Purbaya, sebagai keturunan Giring, mewakili janji bahwa keturunannya akan menjadi pendamping setia raja-raja tanah Jawa. Dan janji itu ia lunasi dengan darah dan air mata sepanjang hidupnya.

Ritual Kesetiaan: Melindungi Sang Penerus

Puncak dari dramaturgi kehidupan Purbaya terjadi pada momen transisi kekuasaan yang genting di tahun 1646, saat Sultan Agung mangkat. Mataram berada di ambang ketidakpastian. Di tengah Sitinggil yang tegang, Purbaya melakukan manuver politik yang kelak dikenang sebagai simbol loyalitas tertinggi aristokrasi Jawa.

Menurut Serat Kandha, Pangeran Purbaya sempat duduk di atas takhta, menatap para adipati dan panglima yang hadir dengan tatapan tajam, menantang siapa saja yang berani merebut kekuasaan. Suasana hening mencekam.

Ketika tidak ada satu pun yang berani bergerak, Purbaya turun, lalu dengan takzim mendudukkan kemenakannya—Pangeran Adipati Anom (Amangkurat I)—ke atas dampar kencana.

Ia kemudian duduk bersila di lantai, menyembah kaki raja baru itu, dan memproklamasikannya sebagai Susuhunan Mangkurat Senapati ing-Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama. Tindakan ini bukan sekadar teater politik; ini adalah penyerahan kekuasaan secara simbolik dari generasi pendiri kepada generasi penerus.

Purbaya, sang singa tua, memastikan bahwa transisi kekuasaan tidak dibanjiri darah saudara sendiri. Ia menjaga harmoni kosmik kerajaan, menempatkan kewajiban di atas ambisi pribadi.

Wajah Ganda dalam Catatan Kompeni

Namun, manusia adalah makhluk yang kompleks, dan sejarah tidak pernah hitam-putih. Arsip VOC mencatat sisi lain Purbaya yang lebih pragmatis, bahkan oposisional. Di masa pemerintahan Amangkurat I yang semakin otoriter, Purbaya kerap muncul sebagai suara yang berbeda.

Ia digambarkan sebagai panglima yang cerdik, kadang menentang kebijakan raja yang gegabah, dan menjalin komunikasi independen dengan pihak luar demi kepentingan stabilitas.

Dualisme ini—setia dalam babad, kritis dalam arsip—justru memperkaya profilnya. Ia bukan abdi yang membabi buta. Ia adalah negarawan yang sadar bahwa kesetiaan kepada negara kadang menuntut keberanian untuk berbeda pendapat dengan raja.

Ia berdiri di persimpangan yang sulit: menjaga marwah keponakannya yang temperamental, sambil berusaha menyelamatkan kapal Mataram yang mulai oleng.

Perang Trunajaya: Sebuah Tragedi Keluarga

Babak akhir kehidupan Pangeran Purbaya adalah sebuah tragedi Shakespeare dalam skala Jawa. Ketika pemberontakan Trunajaya meletus pada pertengahan 1670-an, narasi sejarah umum sering menyederhanakannya sebagai pemberontakan orang Madura terhadap Jawa.

Namun, jika kita membedah jaringan kekerabatan dan data arsip, Perang Trunajaya sejatinya adalah “Perang Keluarga” yang memilukan.

Purbaya tidak sedang melawan orang asing. Ia melawan jaringan keluarganya sendiri. Istri Purbaya, Raden Ayu Panembahan Purbaya, adalah keturunan Panembahan Agung Kajoran (Sunan Kajoran).

Keluarga Kajoran—wangsa ulama sakti yang memiliki pengaruh spiritual luar biasa—adalah pendukung utama Trunajaya. Bahkan, putri Panembahan Kajoran menikah dengan Trunajaya.

Lebih rumit lagi, permaisuri Amangkurat I sendiri (ibu dari Pakubuwana I) juga memiliki darah Kajoran. Artinya, di medan perang Gegodog tahun 1676, Purbaya yang sudah sepuh harus mengangkat senjata melawan menantu dari kerabat istrinya sendiri, demi membela raja yang juga masih terikat darah dengan para pemberontak itu.

Ini adalah konflik batin yang luar biasa. Di satu sisi, ia adalah penjaga takhta Mataram. Di sisi lain, musuh yang ia hadapi adalah bagian dari perluasan jaringan genealogi yang ia bangun. Pangeran Purbaya terjepit di antara dua loyalitas: loyalitas kepada negara (raja) dan loyalitas kepada jaringan kekerabatan lama (Kajoran).

Pada tanggal 13 Oktober 1676, di medan Gegodog yang berdebu, takdir menjemputnya. Pasukan Mataram yang besar namun rapuh moralnya, hancur lebur dihantam strategi gerilya Trunajaya dan keberanian pasukan Makassar.

Pangeran Purbaya, sang veteran Perang Batavia, gugur di usia senja. Kematiannya menandai runtuhnya benteng terakhir moralitas Mataram lama. Dengan gugurnya Purbaya, Amangkurat I kehilangan jangkar, dan Mataram pun terseret ke dalam arus kehancuran total sebelum akhirnya keraton Plered jatuh.

Wotgaleh: Monumen Keabadian

Kini, berabad-abad setelah meriam berhenti menyalak, jejak Pangeran Purbaya beristirahat dalam keheningan mistis di Wotgaleh, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Lokasi ini, yang kini berdampingan dengan hiruk-pikuk modernitas Bandara Adisucipto, adalah kapsul waktu.

Masjid Sulthoni Wotgaleh, dengan arsitektur tajug yang kokoh dan empat saka guru dari kayu jati kuno, berdiri sebagai saksi bisu. Masjid ini, yang didirikan sekitar tahun 1600 Masehi, bukan sekadar tempat ibadah, melainkan monumen pertahanan spiritual. Sebagai salah satu Masjid Pathok Negoro, Wotgaleh adalah benteng pertahanan non-fisik yang melingkari ibu kota Mataram.

Di pusara Pangeran Purbaya, para peziarah masih datang dengan rapalan doa dan aroma dupa yang tak putus-putus. Bagi masyarakat Jawa, makam ini “wingit”. Ada kepercayaan turun-temurun bahwa burung pun enggan terbang melintasi makam ini karena besarnya wibawa sang pangeran. Entah mitos atau kebetulan, narasi ini menegaskan satu hal: kharisma Purbaya melampaui kematian fisiknya.

Keberadaan situs Wotgaleh menyambungkan kembali potongan-potongan sejarah yang berserakan. Di sini, dokumen arsip Belanda yang kaku bertemu dengan kehangatan tradisi lisan. Pangeran Purbaya di Wotgaleh bukan lagi sekadar data statistik korban perang VOC, melainkan roh pelindung yang abadi.

Epilog: Sebuah Cermin Sejarah

Membaca kisah Pangeran Purbaya adalah membaca sejarah kekuasaan dengan segala kompleksitasnya. Ia mengajarkan bahwa di balik setiap keputusan politik besar, terdapat manusia dengan dilema, ketakutan, dan keberanian.

Dari serangan nekat ke Batavia hingga pertahanan terakhir di Gegodog, Purbaya membuktikan bahwa sejarah Mataram tidak hanya dibentuk oleh raja yang duduk di singgasana, tetapi juga oleh mereka yang berdiri di sampingnya—dalam bayang-bayang—siap menahan badai agar lilin kerajaan tidak padam.

Ia adalah kakak yang mengalah, paman yang melindungi, dan panglima yang gugur demi sebuah gagasan bernama Mataram. Dan di Wotgaleh, di bawah naungan pohon-pohon tua, sang legenda itu tidur panjang, meninggalkan jejak yang menolak untuk dihapus oleh zaman.


Referensi:

  1. De Graaf, H.J. (1958). De regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram, 1613-1645. Den Haag: Martinus Nijhoff. (Menyediakan data mengenai arsip VOC tahun 1629 dan istilah “Neve”).
  2. De Graaf, H.J. (1961). De regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, Vorst van Mataram, 1646-1677. (Sumber utama mengenai peran Purbaya di era Amangkurat I dan Perang Trunajaya).
  3. Ricklefs, M.C. (1998). War, Culture and Economy in Java, 1677-1726. Asian and African Studies. (Analisis mendalam mengenai struktur peperangan dan dampak kejatuhan Purbaya).
  4. Dagh-Register gehouden int Casteel Batavia (Arsip Harian VOC). Terutama entri tahun 1629, 1668, dan Oktober-November 1676 yang mencatat pergerakan pasukan dan korespondensi diplomatik.
  5. Babad Tanah Jawi & Serat Kandha. (Sumber tradisional Jawa yang memberikan konteks genealogis, kisah Jaka Umbaran, dan narasi kultural penyerahan takhta).
  6. Data Cagar Budaya Yogyakarta. (Informasi arsitektural dan historis mengenai Masjid Sulthoni Wotgaleh dan statusnya sebagai cagar budaya).
Exit mobile version