Mengungkap detik-detik terakhir KGPAA Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa), warisan politik, spiritual, dan militer yang ia tinggalkan, serta jejak sejarahnya di Astana Mangadeg. Kisah perlawanan melawan VOC dan pembentukan Kadipaten Mangkunegaran.
INDONESIAONLINE – Senin Pon, 23 Desember 1795, menjadi hari di mana sejarah Jawa menahan napas. Di Mangkunegaran, di tengah hembusan angin pagi yang dingin, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, yang masyhur dengan nama perjuangannya Pangeran Sambernyawa, terbaring sakit.
Usia 70 tahun telah merapuhkan raganya, namun semangat perlawanan dan kenegarawanan yang membara tak pernah padam di benak para pengikutnya. Ini adalah kisah tentang akhir hayat seorang pemimpin yang tak hanya melawan kolonialisme, tetapi juga membentuk takdir baru bagi tanah Jawa.
Detik-Detik Wasiat Terakhir Sang Adipati
Di ranjang sakitnya, Mangkunegara I dikelilingi oleh para pangeran dan bupati dari seluruh Jawa bagian tengah. Mereka hadir bukan sekadar memenuhi formalitas, melainkan sebagai saksi hidup seorang tokoh yang telah mengubah wajah perlawanan menjadi sebuah gerakan spiritual dan militer yang dikenang hingga kini.
Dalam suasana hening yang mencekam, Pangeran Sambernyawa memanggil Residen VOC, Johan Frederik Baron van de Reede tot de Parkelaar, atau yang dikenal sebagai Tuan Oprup.
Dengan suara tenang namun tegas, seolah ajal adalah bagian dari rencana panjangnya, ia berujar: “Saudara, penyakit saya ini sepertinya sudah mendekati janji terakhir. Sekarang saya hanya menitipkan kepada saudara, jika saya nanti wafat, yang saya beri wewenang untuk menggantikan saya adalah putra saya, Pangeran Prabu Prangwadana.”
Wasiat ini, sebagaimana dicatat dalam Babad Panambangan dan berbagai risalah sejarah Mangkunegaran, bukan sekadar penetapan suksesi politik. Di dalamnya tersimpan kehendak kuat untuk menjaga kesinambungan ideologi, kepercayaan, dan garis perlawanan yang telah ia perjuangkan sepanjang hidupnya.
Tuan Oprup, dengan segala penghormatan, menyanggupi, “Oh, baik saudara, jangan khawatir. Segala pesan paduka pasti akan saya patuhi.”
Tepat pukul 10 pagi, di bawah langit Surakarta yang menjadi saksi, Pangeran Sambernyawa menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkan warisan perlawanan, kenegaraan, dan spiritualitas yang tak ternilai harganya.
Prosesi Pemakaman yang Megah: Mengiringi Satu Zaman
Pemakaman Mangkunegara I adalah lebih dari sekadar penguburan seorang adipati; ia adalah penguburan satu zaman, penanda berakhirnya era perjuangan revolusioner yang berhasil dijinakkan lewat perjanjian, bukan kekalahan militer.
Jenazah Pangeran Sambernyawa disemayamkan dengan penghormatan agung. Sri Susuhunan Pakubuwana IV, raja muda Kasunanan Surakarta yang baru menggantikan ayahandanya, secara langsung hadir di Mangkunegaran, diikuti oleh para pangeran Surakarta, Raden Adipati Jayaningrat, para Bupati Wadana Kaliwon, Panewu Mantri, dan para bupati mancanegara.
Kehadiran mereka merupakan pengakuan diam-diam terhadap seorang “raja” yang tidak pernah dinobatkan oleh istana, tetapi ditahbiskan oleh sejarah.
Pada pukul dua siang, jenazah diangkat dari Mangkunegaran menuju makam keluarga besar di Astana Mangadeg. Para pengusungnya adalah para Pangeran Surakarta dan Bupati Kaliwon, bergiliran hingga mencapai Gladhag. Dari sana, suara meriam dari Loji nomor sembilan menggema, sebuah penghormatan militer yang sangat jarang diberikan kepada bangsawan pribumi.
Jenazah kemudian diseberangkan dengan rakit menuju kaki bukit Mangadeg. Di sana, para abdi Mangkunagaran dari Matesih, termasuk pangkat Ngabèi dan Dêmang, melanjutkan perjalanan.
Arak-arakan pemakaman ini menyerupai iring-iringan kenegaraan, dilengkapi pasukan infanteri Belanda, dragonder berkuda, serta prajurit dari Kauman, Nirpraja, dan Gulang-gulang. Ratusan pembawa senjata, pedupaan, songsong, dan bunga tabur mengiringi.
Di barisan depan, Pangeran Arya Purbanagara, Raden Tumenggung Suryaditruna, dan Raden Ngabèi Ronggo Panambangan II – simbol kesetiaan abadi dari bendahara perjuangan Mangkunegara I – turut hadir.
Ronggo Panambangan: Sang Penjaga Api Sambernyawa
Nama Ronggo Panambangan tak dapat dipisahkan dari riwayat Pangeran Sambernyawa. Nama aslinya, Raden Sutawijaya, adalah tokoh yang mendanai perjuangan Raden Mas Said di masa perlawanan terhadap Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.
Karena peran vitalnya yang sering “nambangi” (memberi bantuan dana), Raden Mas Said menganugerahkan nama kehormatan “Ronggo Panambangan”. Ia bukan hanya penyokong finansial, tetapi juga mengelola rumah tangga istana Mangkunegaran dan akhirnya dimakamkan di Astana Randusongo.
Dalam tradisi lisan Mangkunegaran, Ronggo Panambangan disebut sebagai penjaga api semangat Sambernyawa, yang meneruskan pengaruh ideologi perjuangan melampaui kematian biologis sang pangeran.
Transisi Kekuasaan dan Kecurigaan Kolonial
Kematian pemimpin karismatik selalu menciptakan ruang kosong yang rentan. Tak terkecuali setelah wafatnya KGPAA Mangkunegara I. Sebelum pelantikan resmi Pangeran Prabu Prangwadana sebagai penerus, pasukan kolonial Belanda segera mengambil langkah antisipatif.
Infanteri ditempatkan di pendapa Mangkunegaran, menjaga pintu timur dan barat. Pasukan dragonder menguasai akses dalam dan gerbang utama. Setiap pintu dikunci setiap malam, dan tak satu pun prosesi dibiarkan tanpa pengawasan. Residen VOC, Tuan Oprup, bahkan menetap di sisi selatan panggung utama, menjelma menjadi simbol supremasi kolonial di tengah transisi kekuasaan Jawa.
Situasi ini, seperti dianalisis dalam banyak sumber sejarah kolonial, menunjukkan bahwa meskipun Mangkunegaran telah menjalin koeksistensi politik dengan VOC sejak era Sambernyawa, rasa curiga tetap menjadi fondasi utama hubungan mereka.
Kolonialisme Belanda, dibangun atas rasa takut pada kebangkitan kekuatan lokal yang pernah mengusik dominasi mereka, seperti Mangkunegara I dan Hamengkubuwana I.
Kecurigaan Belanda bahkan merambah pada persoalan simbolik nama. Ketika Raden Mas Sulama, cucu Sambernyawa, menyandang nama Pangeran Surya Mataram, Belanda langsung gelisah.
Nama itu dianggap terlalu agung, menyinggung semangat pemersatu Mataram. Ketika diubah menjadi Pangeran Surya Mangkubumi, kekhawatiran meningkat karena “Mangkubumi” identik dengan Sultan Hamengkubuwana I.
Surat protes dari Kasultanan Yogyakarta pun dilayangkan. Akhirnya, nama itu diganti menjadi Kangjeng Pangeran Arya Prabu Prangwadana, nama yang lebih netral namun tetap menyiratkan harapan kesinambungan dinasti.
Kecemasan ini memperlihatkan bahwa kolonialisme Belanda tidak hanya menaklukkan secara militer, tetapi juga berupaya mengendalikan simbol, narasi, dan representasi kekuasaan. Nama bukan sekadar gelar, melainkan medan tarik-menarik antara klaim politik, memori kolektif, dan wacana hegemonik.
Maka, sebelum RM Sulama secara resmi menyandang gelar Mangkunegara II pada tahun 1820, Belanda memastikan transisi itu tidak memicu instabilitas.
Sejak masa pemerintahan Daendels, posisi Mangkunegaran juga mengalami transformasi institusional. Gelar “Pangeran Miji” ditingkatkan menjadi “Pangeran Pinisepuh”, dan wilayah ini menjadi satu-satunya institusi lokal yang tidak dilucuti kekuatan militernya.
KGPAA Prabu Prangwadana, dengan pangkat kolonel sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran, menjadi simbol sintesis antara tradisi Jawa dan militerisme kolonial. Ketika ia dilantik oleh Pakubuwana IV di Sasana Sumewa, Surakarta, pada 25 Januari 1796, upacara itu adalah peristiwa geopolitik yang sarat makna.
Raden Mas Said: Dari Pengasingan hingga “Nabi Perang”
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, lahir di Kraton Kartasura pada 7 April 1725, adalah sosok langka dalam sejarah Jawa abad ke-18. Darah bangsawan mengalir kental dalam tubuhnya sebagai cucu Prabu Amangkurat IV. Namun, garis keturunan agung tak menjamin perjalanan mulus. Masa kecilnya dipenuhi luka, pengkhianatan, dan pengasingan.
Ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara, diasingkan ke Srilanka karena konflik internal dan hasutan pejabat istana yang bersekutu dengan VOC. Mas Said sendiri mengalami penghinaan: status kebangsawanannya tidak diakui penuh oleh Pakubuwana II, dan ia hanya diberi kedudukan rendah sebagai Gandhek Anom. Pengabaian inilah yang menyulut api perlawanan panjangnya.
Pada usia remaja, Mas Said terlibat dalam Geger Pecinan (1740–1743), bersekutu dengan Raden Mas Garendi, menyerbu pusat kekuasaan Mataram dan VOC. Reputasinya mulai mencuat dari sinilah.
Antara 1746 hingga 1755, ia memimpin lebih dari 250 pertempuran melawan pasukan gabungan Kasunanan dan Kompeni. Gaya perangnya cepat, cerdas, dan nyaris tak terduga. Pasukan kecilnya yang disiplin dan loyal menjadikannya pemimpin gerilya paling efektif di zamannya.
Julukan “Sambernyawa”—penyambar nyawa—diberikan oleh Nicolaas Hartingh, pejabat tinggi VOC, yang menyaksikan kehadiran Mas Said di medan perang hampir selalu berarti kematian bagi lawan. Meski bertubuh kecil, ia adalah orator ulung, pemimpin karismatik, dan jenderal visioner. Ia bukan hanya ahli strategi, tetapi juga memiliki naluri politik yang tajam.
Ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 1755, memecah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, Mas Said tidak ikut serta. Baginya, Giyanti adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan Jawa. Ia memilih jalan ketiga: mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Pilihan ini bukan kompromi seorang yang kalah, melainkan manuver politik pejuang yang tahu kapan harus mengubah bentuk perlawanan. Melalui Perjanjian Salatiga tahun 1757, Mas Said diakui sebagai penguasa otonom dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Ia mendirikan Mangkunegaran sebagai entitas mandiri di dalam struktur lama. Dengan langkah ini, bara perlawanan tetap menyala, namun dalam bentuk pemerintahan yang sah dan terstruktur.
Nama Mangkunegaran diambil dari gelar ayahnya, sebagai penghormatan terhadap leluhur sekaligus pernyataan bahwa perjuangannya adalah kelanjutan dari kehormatan yang dirampas.
Di Surakarta, ia membentuk pasukan sendiri, mendirikan sistem pemerintahan sendiri, dan membangun kebudayaan istana yang mandiri. Lembaga seperti Pakempalan Mangkunagaran bahkan melahirkan karya penting seperti Babad Panambangan.
Mangkunegara I tidak pernah secara resmi menyebut dirinya sultan. Namun gelar dan kebesaran namanya melampaui batas simbol formal kekuasaan. Dalam banyak sumber sastra dan sejarah, ia disebut sebagai nabi perang, tokoh mesianik yang membawa pencerahan melalui perlawanan. Perjuangannya merupakan jalan suci melawan ketidakadilan dan pengkhianatan, demi martabat sebuah bangsa.
Astana Mangadeg: Makam, Meditasi, dan Mandat Politik
Bukit Mangadeg, di Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Karanganyar, pada ketinggian 750 meter di atas permukaan laut, bukan sekadar tempat pemakaman. Di puncak bukit ini berdiri kompleks Astana Mangadeg, makam para adipati Mangkunegaran dan keluarga terdekat mereka. Di sinilah jenazah KGPAA Mangkunegara I dimakamkan, disusul keturunannya dari Mangkunegara II hingga generasi selanjutnya.
Astana Mangadeg terdiri atas tiga kelompok kedaton: Kedaton I untuk Mangkunegara I dan lingkaran terdekatnya; Kedaton II untuk Mangkunegara II dan III; serta Kedaton III untuk generasi penerus dinasti. Namun lebih dari sekadar struktur pemakaman, bukit ini adalah tapal spiritual. Sebelum menjadi adipati, Raden Mas Said pernah bertapa selama tiga bulan di puncak bukit ini, di masa-masa terberat perjuangannya melawan Kasunanan Surakarta dan VOC.
Di tempat inilah, menurut tradisi, ia menerima wangsit, pusaka Kyai Tambur dan Kyai Duda, serta merumuskan falsafah hidup Tri Darma Mangkunegaran: rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki), wajib melu hangrungkebi (wajib ikut menjaga), dan mulat sarira hangrasa wani (berani introspeksi dan bertanggung jawab).
Pemakaman Mangkunegara I di Astana Mangadeg menjadi simbol pengembalian roh perjuangan ke akar spiritualnya. Ia tidak memilih dimakamkan di kota atau pusat kekuasaan, melainkan di tempat perenungan dan kesunyian—tempat perjuangannya bermula.
Pilihan ini adalah pesan politik yang halus namun tajam: Mangkunegara I, meskipun membentuk kekuasaan baru, tidak memisahkan diri dari akar legitimasi dinasti Mataram Islam. Ia tidak berdiri sebagai raja tandingan, melainkan sebagai penerus nilai-nilai spiritual dan moral kerajaan yang telah dirusak oleh kompromi politik dan intervensi kolonial.
Dengan meletakkan tubuhnya di puncak Mangadeg, Mangkunegara I menjadikan jasadnya jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ia dimakamkan bukan sebagai pecundang yang menyerah, melainkan sebagai pemimpin yang memilih damai demi menjaga warisan.
Ia kembali ke tempat semula, tempat di mana perjuangan spiritual dan militer menyatu, dan dari sana ia menatap masa depan Mangkunegaran yang dilandasi pada dharma, bukan pada ambisi. Astana Mangadeg bukan sekadar makam, melainkan ruang sakral yang menjadi pernyataan abadi tentang relasi antara kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi.
Warisan Abadi di Bawah Langit Mangadeg
Setelah pemakamannya, takhta Mangkunegaran beralih ke Pangeran Prabu Prangwadana, yang kemudian bergelar Mangkunegara II. Warisan dari ayahnya bukan hanya kekuasaan formal, melainkan amanat ideologis: bahwa kekuasaan harus dibangun dari perlawanan, bukan kolaborasi buta.
Mangkunegaran di bawah penerusnya tetap menjadi pusat kebudayaan dan perlawanan halus terhadap penetrasi kolonialisme kultural. Lembaga-lembaga militer tetap dijaga. Karya sastra tetap ditulis. Lagu, tari, dan busana istana tetap menampilkan identitas yang tidak terserap sepenuhnya oleh Barat.
Sejarah mencatat bahwa tidak banyak pemimpin Jawa yang mampu menggabungkan ideologi, spiritualitas, dan realpolitik seperti Pangeran Sambernyawa. Ia hidup sebagai pemberontak, memerintah sebagai negarawan, dan wafat sebagai simbol kesetiaan kepada Mataram yang sejati.
Langit Mangadeg tidak hanya menangisi kepergian seorang raja. Ia menangisi kehilangan api yang selama bertahun-tahun menyala dalam gelap kolonialisme. Namun api itu tidak padam. Ia berpindah ke dalam tubuh sejarah, menyala dalam tiap cerita, tiap syair, tiap pusaka yang disimpan dalam dinding-dinding Mangkunegaran.
Pangeran Sambernyawa memang telah wafat, tetapi dalam setiap barisan prajurit Kauman, dalam tiap tapak kaki ke makam Mangadeg, dalam tiap bait Babad Panambangan, ia masih hidup. Ia masih menunggang kuda menuju rimba, membawa panji-panji perlawanan yang tidak akan pernah dilupakan.
Referensi:
-
Carey, P. B. R. (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press. (Relevant for context on Javanese resistance and colonial interventions)
-
Florida, N. K. (1993). Javanese Literature in Surakarta Manuscripts. Cornell University Press. (Relevant for literary context of Babad Panambangan)
-
Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press. (General historical context of VOC, Mataram, and Mangkunegaran)
-
Sujamto. (1997). Mangkunegara I, Pahlawan Pembentuk Kadipaten Mangkunegaran. Yayasan Mangadeg Surakarta.
-
Tim Penulis Sejarah Mangkunegaran. (Berbagai Publikasi Internal Pura Mangkunegaran).
