*dd nana veno

“Ingin memadam pada bisumu yang membasuh cerita kita”

Merapatkan nyeri mencari tepi

mengulang perjalanan

air mata yang mengeja setiap cahaya, mimpi, nyeri

rasa putus asa.

Serupa kisah Ibrahim yang khusyuk

mencari siapa pada segala benda-benda

dan akhirnya terpana pada

yang menghidup matikan cahaya.

Yang tak bertepi dan melingkari.

Maka, kurapatkan nyeri menuju tepi

agar segala yang membisu dan dihalangi

benda-benda menampakkan diri

Sesuatu akan dimulai dari tepi, segala akan dimulai

dari sisi yang tak pernah kita pelajari

dari buku-buku dan kisah yang bukan milik kita

sendiri.

Ilustrasi (Ist)

Punggung yang senyap

seperti lapang kuruksetra yang dikutuk

pada malam hari. Sepi yang menggetarkan

Baca Juga  (3) Dua Tubuh yang Berpelukan di Perempatan Jalan

mata para kstaria dan para dewa.

Semesta menghardik dengan keras

setiap nafas yang masih menenteng cinta

pada medan laga yang hanya menyisakan remah

kewajiban.

Simpan cintamu dengan rapi atau jadikan

dzikir.

Tapi pada punggung yang senyap itu

hanya kisah-kisah nyeri yang tak memiliki tepi

yang akan kau baca.

Para pencinta tak bisa lari, sepertiku yang nyaris

membatu dengan punggung yang kau sebut

senyap itu.

 

Ilustrasi puisi (tempo)

Kewajaran hidup adalah terluka

tapi jangan kau simpan tangisan, anakku

nyeri sepi itu do’a.

Mungkin kelak saat kakimu mulai mengukur

jarak nasib, kau tak akan mudah retak.

Percayalah, aku selalu menziarahimu.

“Kelak, kita akan memahami peristiwa dengan cara yang mungkin sama.”

Baca Juga  Puisi: Pertanyaan Seperempat Abad

*Hanya penikmat kopi