*dd nana veno

-Kamu
 Berlabuhlah di tubuhku, tuan
 Walau hanya ada debur
ritmis serupa gerimis
 Percayalah, debur ini akan menenangkan debar
 Yang kau buang pada setiap senja
dan kembali saat malam sempurna mengenakan jubahnya.
Membunuhmu perlahan, dan menyisakan nafas sepi berbau asam sengit.
Berlabuhlah di tubuhku, tuan, walau tak ada ikrar
 Yang kau jangkarkan di tepian hati.
Hari sebentar lagi menuju senja.
-Aku
 Aku memilih menjadi malam
 Tempat berpulang senja yang diidamkan dalam
 setiap percakapan atau lamunan
yang terlalu dalam.
Merengkuhmu dalam diam
dan sepi panjang dan tentunya kelam.
-Kita
 Dua pasang mata bercakap-cakap
 Di sebuah kota yang dibekap dingin yang begitu sengit
 Meremas-remas raga
yang berusaha sembunyi pada lapisan-lapisan busana.
Pemilik mata dengan alis lentik, sesekali memberikan koma
 Saat dingin mengunyah kulitnya.
Wine di teguknya dengan khidmat
Sedang sepasang mata lainnya, di ujung dekat pintu masuk cafe
serupa puisi.
Tak ingin disekat jeda, mengalir walau seperti rintik
gerimis yang pernah aku lukis bertahun lalu
Pada sebuah raga perempuan yang kusebut cinta.
Dua pasang mata kembali bercakap-cakap
 Walau cahaya mulai terlihat redup
di ruangan dan panggilan pulang mulai berisik di saku celana.
“Saatnya pulang,”
 “Kopiku belum tuntas,”
 “Wineku juga belum api. Tapi ini saatnya pulang”
Dua pasang mata yang bercakap-cakap menemui koma
 Dan berkata, “izinkan kami besok datang lagi, di sini. Melanjutkan percakapan diam-diam ini,”.
Kau duluan yang angkat kaki menuju pintu keluar
 aroma sepi meruap, tepat saat kau melintasiku begitu pelan.
Mataku menatap pekat kopi di depanku
 Hatiku mengais-ais bara untuk mendidihkan dingin sepi
 Yang kau titipkan di dada.
-Kelak
 Mendidihkan dingin
 Pada raga puisi yang sejak malam tak ingin menjadi.
Panaslah, panaslah, hingga kau punya darah
 Untuk kembali mengetuk pintu pemilik rindu ini.
Kalau bukan kau, puisi, siapa lagi yang akan mengantar
 Rindu yang dititipkan padaku oleh pemiliknya itu.
Satu kecupan panjang
 Setelahnya jadikan puisi.
Itu lebih berdarah dan daging bukan, tuan ?
*pecinta kopi pahit dan penjual wingko





