*dd nana

-Sebut saja Halte

Hanya mereka yang tersudut cuaca atau

yang menumpang lelah dan tak punya uang untuk menyewa

sedikit kemewahan cafe dan losmen.

Berkumpul di sebuah ruang tunggu dengan paras-paras kosong

serupa kertas-kertas dalam buku gambar kanak-kanak yang lama

tertimbun oleh waktu.

Mereka sembunyikan letih, semburkan sepi

dan menggali lahat lebih dalam

atas hasrat yang tak mungkin terbeli.

“Aku butuh tidur panjang, hingga sampai rasaku yang manusia.”

“Pelukan, pelukan, di mana lengan yang melingkar dan ampuh mengesahkan lapar jiwa.”

“Betapa panjang bayangan cahaya, betapa sepi merangkak sampai ubun kepala. Di manakah Engkau Tuhan?”.

Kata-kata menjadi kalimat-kalimat. Mungkin keluh kesah, mungkin juga doa

memenuhi ruang tunggu yang kau sebut halte itu.

Ilustrasi(kompasiana)

Sedang rindu telah mengakar begitu keparat dan tak bisa menyeberangi

jalan. Di mana, segala yang dirasa ruang nyaman menunggu dengan sorot mata

Baca Juga  PUISI: Senja dan Rindu yang Keparat

yang tak bisa kau tuliskan dalam bahasa manusia.

“Mungkin, sesekali menjadi jahanam bisa meremukkan ruang,”

“Mungkin, sesekali menjadi suci bisa menenteramkan,”

“Mungkin, kita sesekali bisa berpura-pura untuk saling mencintai dan saling mengenang. Agar hidup sedikit memberi warna.”

Percakapan-percakapan sepi menggema di ruang tunggu yang kau sebut

halte. Sebelum jemari waktu menghardiknya lagi.

“Waktunya bekerja, layaknya manusia.”

-Sebut saja kamar pengantin

Dibesarkan untuk melesat dan tidak sampai tersesat

kita diajari cara merawat yang belum terlihat

hanya pengetahuan yang diturunkan lewat firman, sabda, atau ocehan

ocehan yang disebut teori yang jadi imam.

Sampai kita masuk di sebuah ruang yang kau sebut kamar

dan kita disematkan kalimat pengantin, sepasang yang saling berikrar

untuk menumbuhkan yang belum terlihat dan membaca yang belum tertera.

Baca Juga  Puisi: Hei, Lukai Aku Lagi Dong!
Ilustrasi (riausastra)

Melesatlah dulu, tapi jangan sampai tersesat

Walau tak kau ketahui di mana arah jatuhmu, arah akhirmu.

Dari kamar pengantin mulailah belajar menunggu

sampai waktu menggampit tangan dan mengajakmu

Menemui sesuatu yang mungkin menggetarkan

mungkin menyenangkan

sebagai sebuah ruang bermain

sebagai manusia yang disandingkan dan berdiam dalam kamar

pengantin.

“Tak ada yang pasti walau kesenangan kau teguk di kamar pengantin. Karena sebaik-baiknya tegukkan bukan hanya yang melegakan,”.

-Sebut saja Kepala

Ruang hingar

Ruang sepi

Ruang yang menjadikan kita manusia

Ruang bercinta

Walau usia telah lama memamah raga

Sebut saja ini kepala

Yang kita bawa sampai liang lahat

yang pernah kau lukiskan dalam sebait

Puisi.

Jangan kau definisikan

Sebut saja kepala

Agar kau tidak disebut gila.

 

*hanya tukang ngopi belaka