*dd nana veno

-11
Kesedihan akan terasa panjang
tanpa nyeri yang disampirkan
seperti hari yang mati.

Seperti daun jendela
puisi yang sunyi.

Pada nyeri yang disunyikan subuh
aku suling energi

untuk mencintai
demi segala yang masih jernih

walau telah lama mati.

12-
untuk solilokui
yang menggoreskan luka di mata sajak
yang sempat aku titipkan pada bangku
bangku sunyi di stasiun kereta api.

Kau menulis waktu tentang akhir kemarau
dan aku yang sibuk menerima banyak gerimis
tapi, padamu, aku masih menulis surat, bukan?

-13
Sore menikam cahaya
melahirkan malam
demi lahirnya bintang-bintang.

Tapi di sini puan, hanya ada gerimis
yang magis, yang menyisipkan ingatan
luka-luka yang berpinak.

Baca Juga  Puisi: Hei Lukai Aku Lagi Dong !

“Tapi, itu yang kau cari, bukan?”.

Aku menatap langit yang dikaburkan
gerimis malam, mencari bintangku yang paling
terang.

“Dia sembunyi di cahaya. Tikamlah,”.

14-
Sepagi ini aku bungkus
dingin Desember

dengan kertas warna merah jambu
kugoreskan nama dan alamatmu.

Sebelum akhirnya aku bakar di perigi
kopi.

-15
Persembunyianmu, aku tahu
di garis tangan yang mengaburkan mata waktu

tapi rindu, cinta, tak punya ragu
untuk menemu-cumbu tubuhmu.

Kini, izinkan aku mengetuk daun pintumu.

16-
Aku percaya, pada bibirmu
pintu segala resah terkunci
dan desah menjadi ingatan

yang paling baik
mengajari luka.

*Penikmat kopi pahit dan tukang wingko