*dd nana veno

Konon, pada kepala segala pengetahuan dan cahaya dititipkan.

Sebelum teriakan nyeri pertama disuntikkan

entah sejak kapan oleh Tuhan.

 

Burung-burung yang bersarang

senang berhamburan, mencari dedahanan di raga yang mulai bercecabang.

 

Kepala ditinggalkan. Dan kita mengada

di fana dunia.

 

-Apa yang pernah kita percakapan dulu-

Apakah sunyi penuh warna ini ataukah sebuah rencana; ketelanjangan yang membuat kita terpelintir.

-Bahasa dan warna suara seperti apa kita bercakap-cakap dulu di kepala-

Sunyi.

 

Kau menatapku dengan cahaya mata yang diredupkan siang

Saat kepala-kepala merunduk mencari dedaunan

serupa jemari yang menampung segala kesah.

Ilustrasi (Ist)

Di kepala kita,  sayang

dulu selalu kita perbincangkan rencana

Ikhwal segala yang pecah menemukan bunyi retaknya.

Kita pun bersepakat bukan persoalan kemenangan atau keterpurukan

Baca Juga  Puisi: Pertanyaan Seperempat Abad

atas lenguh atau nyeri atau riuh yang menghantam.

 

-Lantas apa yang kita bincangkan dalam kepala kita dulu-

Cinta.

 

Warna pijar yang membutakan cahaya di kepala yang ditinggalkan para burung.

Migrasi ke entah. Mimpi naif kanak-kanak di badai yang menginap di kepala

Sejak nyeri pertama pecah di telinga.

 

Aku menatapmu

dengan pecahan cahaya yang melambat

Menuju kepalamu yang runduk, tepat di dada terbuka ku

Dada yang kini sesak dengan penghuni

Yang datang diundang maupun yang tak

Saat kepala semakin sunyi dari percakapan.

 

-masihkah kau Adamku yang riang yang percaya bahwa cahaya tidak selalu terang berwarna putih keperak-perakkan-

Aku diam.

Baca Juga  Membaca Al-Fill di Malam Hari

Hanya cinta yang akhirnya bertanya tentang arah pulang

Ke rumah yang dulu kerap pikuk dengan perbincangan

dalam kepala yang masih dihuni cahaya dan pengetahuan.

 

-Tidurlah di dadaku, sayang. tidurlah. Bermimpilah nanti di suatu tempat kita menaiki kepala yang dulu kita pakai mengarungi gelora

curiga dan cemburu para malaikat dan iblis-

 

*penikmat kopi pahit dan tukang wingko