Puisi (Rock) Mini

*dd nana veno

Bahkan jika aku tak lahir, puisi harus ada.
Sebab apa yang puisi persiapkan adalah suatu keharusan cinta. (Paz )

Karena mencintaimu, aku memilih sunyi
yang tak pernah bisa kau mengerti.

Kemana perginya puisimu.
Matamu bertanya pada gelas berisi kopi pekat
yang menggigil sejak dini hari, tadi.

Matamu mantra
yang kini membuatku tabah mengasuh segala peristiwa.

Inilah cinta, kata diammu yang jauh.
Mungkin ini cinta, kataku yang luruh.
Cinta yang sunyi
agar mereka tidak menghardik kita
lagi.

Sebenar-benarnya percakapan,
mungkin yang sedang kita jalani ini.
Sama-sama tanpa suara
dan saling menunggu.
Di kepala kata-kata menyalak riuh.

Mari saling memunggungi dan menjauh
biar tuhan saja yang tahu
dada siapa yang paling teguh.

Baca Juga  Puisi: Pertanyaan Seperempat Abad

Aku tak ingin kelak, yang kau gambarkan serupa hangat ruang tamu yang kau sebut dada.

Lihat, rambutmu sudah dihuni uban.
Sedang cintaku tak sampai-sampai pada pengetahuan
Aku burung yang lama lupa atas kepak.
Sedang kau masih saja begitu jauh untuk diringkas langkah.

Pada aksara yang berebut dan tercerabut
kesadaran serupa lampu di jalanan; parak pagi yang menggelisahkan.

Kalau kau tua, kelabu dan pengantuk
terangguk-angguk di kursi kayu
ambil buku ini, baca perlahan
dan khayalkan tatapan lembut
yang dalam milik matamu.

Aku masih puisi dan kau tak lagi sepi.
Mari reguk saja sisa kopi semalam ini.

Aku gagu dan kau
telah melebur
dalam lantunan takbir.
Bulan masih cukup sempurna untuk di baca

Baca Juga  PUISI: Memoria: Nyalak Menyalak

Aksara yang kau sembunyikan dari segala mata siang.
Aksara yang disetubuhi dalam segala remang.
Itulah aku, lirih puisi cantik itu.

Kusapa puisi itu di sela lantunan takbir.
Siapa namamu?
Aku adalah aksara yang tak pernah kau beri cahaya, jawabnya.

Kutemukan seekor puisi yang cantik malam ini
dengan t-shirt hitam bertulisan
“tidur lebih baik daripada menungguku. ”

*pecinta kopi pait dan tukang wingko