INDONESIAONLINE – Harun Masiku buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini belum diketahui rimbanya. Padahal kasus Harun Masiku sudah lebih 3 tahun berjalan.

Maka, kalimat Harun Masiku hilang atau dihilangkan pun jadi pertanyaan yang dilontarkan terus. Tak terkeculi dari akun @PartaiSocmed.

“…dibalik menghilangnya Harun Masiku terdapat kejanggalan-kejanggalan yang seolah tersistematis. Sehingga pertanyaannya, dia menghilang atau dihilangkan?,” tulis @PartaiSocmed dikutip Minggu (26/11/2023).

Akun anonim ini pun menuliskan rinci kronologi kasus yang menjerat caleg PDIP dari Dapil Sumsel I tersebut.

Dalam penjelasannya, Partai Socmed mengatakan jika kasus Harun Masiku berawal dari meninggalnya Alm Nazarudin Kiemas, adik dari Alm. Taufiq Kiemas suami dari Megawati Soekarno Putri Ketum PDIP. 

Berdasarkan UU Pemilihan Umum, pengganti calon legislator yang meninggal adalah calon legislator peraih suara terbanyak berikutnya. Dalam hal ini calon legislator PDIP peraih suara terbanyak berikutnya di dapil yang sama dengan Alm. Nazarudin Kiemas adalah Riezky Aprilia.

“Namun ditengarai terjadi politik uang dimana calon legislator yang diusulkan partai untuk menggantikan Nazarudin Kiemas bukanlah calon legislator dengan suara terbanyak berikutnya tapi calon legislator dengan uang terbanyak,” tulisnya.

“Maka dari situ dimulailah manuver-manuver agar bukan kader PDIP sendiri yang naik menggantikan Nazarudin Kiemas tapi Harun Masiku yang banyak duitnya. Sekedar info Harun Masiku bukanlah kader asli PDIP tapi mantan kader Demokrat yang pindah dan mencari peruntungan di PDIP,” imbuh tulisan Partai Socmed,

Selanjutnya menurut Partai Socmed, pada 5 Agustus 2019, PDIP mengirimkan surat kepada KPU. Tujuannya agar suara Nazarudin Kiemas yang meninggal dialihkan kepada Harun Masiku. Dan bukan dialihkan pada Riezky Aprilia sebagai peraih suara terbanyak berikutnya.

Surat PDIP yang ditujukan ke KPU tersebut ditandatangani oleh Bambang Dwi Hartono dan Hasto Kristiyanto.

“Pada tanggal 31 Agustus 2019, KPU melakukan rapat pleno yang hasilnya menolak permintaan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai legislator. Lalu menetapkan Riezky Aprilia yang mendapatkan suara terbanyak kedua sebagai legislator,” jelasnya.

“Pada tgl 23-30 September 2019 Staf Hasto Kristiyanto, Saeful Bahri, melobi mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang pada pileg 2019 menjadi caleg PDIP yang punya hubungan dengan orang KPU. Untuk KPU mengabulkan permintaan PDIP agar menetapkan Harun Masiku bukan Riezky Aprilia,” imbuhnya.

Namun kata Partai Socmed, pada 1 Oktober 2019, KPU tidak menggubris permohonan resmi dari PDIP dan lobi dari Agustiani Tio Fridelina. Pada hari itu, dilakukan pelantikan anggota DPR periode 2019-2024. Salah satunya yang dilantik adalah Riezky Aprilia, kader yang hendak dikorbankan oleh PDIP untuk diganti Harun Masiku

Baca Juga  Penolakan Anies di UGM, Jubir: Mungkin Karena Ketakutan

“PDIP penasaran atas sikap KPU ini. Pada tanggal 16 Desember 2019 Saeful Bahri melaporkan pada Hasto Kristiyanto soal rencana pemberian uang Rp 400 juta kepada anggota KPU Wahyu Setiawan yang pada September telah menyanggupi untuk memperjuangkan Harun Masiku dengan biaya operasional 900 juta,” jelas Partai Socmed.

“17 Desember 2019, kepada Agustiani staf Hasto Saeful Bahri menyerahkan Rp 200 juta dalam bentuk Dollar Singapura. Wahyu menerima Rp 150 juta yang diantarkan Agustiani, yang Rp 50 juta dicatut Agustiani. Uang jin dimakan setan,” imbuhnya.

Namun tak lama kemudian, KPU menerima surat dari PDIP bernomor 24/EX/DPP/XII/2019 bertanggal 6 Desember 2019 yang isinya meminta dilakukan PAW (Pergantian Antar Waktu). Yakni antara anggota DPR dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

“Surat diatas ditandatangani oleh Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Kedua nama tersebut bertanggung jawab atas kasus Harun Masiku yg berlarut-larut ini,” jelasnya.

Selanjutnya, menurut Partai Socmed benang merahnya pada 23 Desember 2019. “Harun Masiku menyerahkan uang Rp 850 juta kepada Riri, anggota staf PDIP di sebuah rumah di Jalan Sultan Syahrir no 12A yg merupakan kantor Hasto Kristiyanto, lalu diteruskan pada Saeful Bahri yang tak lain adalah staf Hasto!,” sambung keterangan Partai Socmed.

“26 Desember 2019 Agustiani Tio menerima uang Rp 450 juta dari staf Hasto Saeful Bahri. Lagi-lagi uang jin dimakan setan. Dan 27 Desember 2019 Komisioner KPU Wahyu Setiawan minta Agustiani Tio agar menyimpan dulu uang tersebut,” imbuhnya.

Selanjutnya pada 7 Januari 2020, rapat pleno KPU kembali menolak permintaan PDIP yang ingin mengganti Riezky Aprilia dengan Harun Masiku. “Wahyu Setiawan yang sudah menerima ijon dari staf Hasto menghubungi kader PDIP Donny Tri Istiqomah, berjanji mengusahakan kembali proses PAW Harun Masiku,” ujarnya.

Lantas pada 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan meminta uang pada Agustiani Tio. Percakapan tersebut sepertinya sudah disadap sehingga pada jam 12.55 WIB di tanggal yang sama, Wahyu Setiawan bersama asistennya Rahmat Tonidaya ditangkap KPK di Bandara Soekarno Hatta.

Pada pukul 13.14 di tanggal yang sama tim lain KPK menangkap Agustiani Tio di rumahnya di Depok bersama barang bukti uang Dollar Singapore senilai Rp 400 juta dan buku rekening.

Baca Juga  Remuk di Pilpres, PDI-P (Masih) Kokoh di Pileg 2024

“Masih di tanggal yg sama, berdasarkan pemantauan KPK Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku sembunyi di PTIK. Maka dilakukanlah upaya penjemputan Hasto dan Harun Masiku oleh petugas KPK yang dramatis itu,” tandas Partai Socmed.

Masih di tanggal yang sama, 8 Januari 2020pada malam harinya, Partai Socmed mengatakan jika KPK berusaha menjemput Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Namun Partai Socmed menjelaskan jika tim KPK malah ditahan oleh oknum-oknum di PTIK tersebut dan baru menjelang subuh dibebaskan.

“Sebenarnya tim penyelidik KPK sudah memantau Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto dan keberadaan terakhir mereka terdeteksi di sekitar Kompleks PTIK. Namun akibat insiden tersebut, Harun Masiku lolos hingga detik ini,” jelasnya.

Kemudian pada 9 Januari 2020, setelah gagal menangkap Hasto dan Masiku di sekitar PTIK, tim KPK menuju kantor DPP PDIP untuk melakukan penggeledahan. Meskipun telah dibekali dengan surat-surat lengkap, tim KPK gagal melaksanakan penggeledahan karena dihalang-halangi oleh satpam.

“Alasan Lili Pantauli (yg belakangan diberhentikan dari KPK karena kasus etika), pihak satpam DPP PDIP mencoba menghubungi atasannya tapi telponnya tidak kunjung diangkat. Oleh karenanya proses penggeledahan tidak diijinkan. Hebat ya, satpam bisa melarang alat negara,” ujar Partai Socmed.

“Karena gagal melakukan penggeledahan lalu tim KPK memasang KPK Line di kantor DPP PDIP. Itupun segelnya tanpa takut2 mereka bongkar. Atas obstruction of justice tersebut para komisioner KPK tidak ada satupun yang membela apalagi melindungi pegawainya, bahkan cenderung cari aman,” imbuhnya.

Tak hanya itu, kata Partai Socmed PDIP yang dikenal sebagai partai penguasa makin arogan dengan melaporkan pegawai KPK yang menyegel kantor DPP PDIP ke Dewan Pengawas KPK.

“Akibatnya hingga detik ini kantor DPP PDIP tidak pernah digeledah dan Hasto yang dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus PAW ini tidak pernah diproses secara hukum. Kita semua tahunya hanya Harun Masiku menghilang dan tidak pernah ditemukan,” ujarnya.

Selama proses yang menegangkan tersebut berlalu, Hasto pun juga turut menghilang. Ia baru muncul di gladi resik Rakornas PDIP di JiEXPO. “Kuncinya ada di Harun Masiku. Jika dia tertangkap maka mulai dari Yasonna Laoly, Hasto Kristiyanto, hingga Megawati dalam ancaman bahaya,” ujar Partai Socmed (ina/dnv).