INDONESIAONLINE – Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS) C Hendro Widjanarko menyampaikan melalui surat resmi akan membatasi akses masuk menuju kaldera Gunung Bromo pada tanggal 12-13 Desember 2023.

Selama dua hari itu, kendaraan bermotor dilarang masuk Bromo dikarenakan masyarakat Tengger memperingati adat dan budaya Wulan Kapitu.

“Pada awal Wulan Kapitu, 12 Desember bebas kendaraan bermotor mulai pukul 16.00 WIB sampai dengan 13 Desember pukul 16.00 WIB. (pembukaan Megeng),” kata Hendro.

Lebih lanjut, Hendro menjelaskan kawasan Bromo kembali steril dari kendaraan bermotor pada akhir Wulan Kapitu yang jatuh pada 9 Januari mulai pukul 16.00 WIB sampai dengan 10 Januari 2024 dengan waktu yang sama.

Baca Juga  Mantan Ajudan Presiden Jokowi Diangkat sebagai KSAU

Menurutnya, kawasan Bromo tersebut bebas dari kendaraan bermotor kecuali jika ada kondisi darurat. Kendaraan diperbolehkan melintas jika ada situasi darurat di kawasan tersebut yang membutuhkan respons cepat dan segera.

“Penutupan Kaldera Tengger dari kendaraan bermotor, kecuali untuk kedaruratan,” katanya.

Batas Kendaraan Bermotor

Kawasan Bromo bebas kendaraan bermotor tersebut tertuang dalam Pengumuman bernomor PG. 27/T.8/BIDTEK/KSA/12/2023 tentang Pembatasan Kunjungan Wisata Alam dan Kegiatan Masyarakat pada Wulan Kapitu 2024.

Hendro menambahkan batas kendaraan bermotor yang diperbolehkan melintas dari wilayah Kabupaten Pasuruan adalah hingga Pakis Bincil. Sementara dari wilayah Malang dan Lumajang hanya diperbolehkan hingga kawasan Jemplang. Sedangkan dari arah Kabupaten Probolinggo, sampai dengan Desa Wonokerto.

Baca Juga  Banjir di Lautan Pasir Bromo, Turis sampai Dievakuasi Polisi

Kawasan Bromo bebas kendaraan bermotor pada peringatan Wulan Kapitu tersebut telah memperhatikan Surat Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Probolinggo Nomor 279/PHDI-KAB/XI/2023 tanggal 22 November 2023.

Sebagai informasi, Wulan Kapitu atau bulan ketujuh dalam kalender Masyarakat Tengger oleh sesepuh/tokoh masyarakat Tengger dianggap sebagai bulan yang disucikan.

Pada bulan ini, selama satu bulan, para sesepuh Tengger melakukan ‘laku puasa mutih’, yang bertujuan untuk menahan perilaku atau sifat keduniawian dan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan sang Maha Pencipta (bn/dnv).