(4) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai-7)

Begitulah aku melestarikan kekuasaan. Darah adalah kekasih gelapku. Dan, kau tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan yang gelap-gelap selalu membuat adrenalin kita dipacu. Menegangkan. Banyak warna dalam kelelakianku yang mencuat, menguat. Ha…ha…ha… tetapi percayalah, setiap perjalanan akan berakhir di tujuan.

Ini kata-kata yang aku cuplik dari salah satu begawan yang tak pernah tunduk dalam kekuasaanku. Aku menghormatinya, karena di negeri ini manusia sepertinya sangat amat jarang ditemukan lagi.

Suatu ketika, aku mengundangnya ke istana. Sekedar untuk bertanya tentang sesuatu yang begitu lama berdenyut dalam dada. Ini bukan masalah kekuasaan. Ini masalah….

Baiklah, baiklah aku akan bercerita dan tolong…ini antara aku dan kau, deal? Ada yang mendengung setiap malam, saat aku sendirian. Sebuah nama. Nama yang begitu aneh sekaligus begitu akrab dalam jiwa.

Baca Juga  Puisi: Hal-Hal 'Cekak' di Kepala

Nama yang secara pasti menggenangi wujud apiku, mengajak untuk kembali menjadi kelopak bunga satu tangkai. Pernah, kukerahkan segenap kekuatan di darat, laut, udara untuk mencarinya, sia-sia.

Namanya Ular, kau tidak heran? Aku merindukannya.

Bicaralah! Beri aku kekuatan sihir kata-kata yang sering kau lontarkan kepada anak-anak muda itu. Bicaralah…..sehingga mampu aku merangkum kamil di dunia ini. Kekuasaan ada di tangan, yang belum dan kini menggapai-gapai adalah rindu yang membuhul. Kumohon bicaralah tentang perempuan bernama ular. Aku yakin kau mengenalnya, bukan?

“Penggal lehermu….dia yang akan menemukanmu…”

“Maksudmu?”

Kriiinggggg…!!!!

“Ada apa?”

“…kuasa paduka bergemeretak disengat tawon-tawon muda yang entah dilahirkan dari apa…”.

“Tut…tut…tut..” Paduka mengungsilah dahulu dari kota…”

Kabar itu terus berdatangan “…suasana tidak terkendali…” “…kerajaan membara…terus berdesakan ke pelosok-pelosok…siaga I…siaga I…paduka dipaksa turun dari tahta…”.

Baca Juga  (8) Kelopak Bunga Satu Tangkai

“Penggal lehermu… ini waktu yang tepat untuk menebus segala yang telah berlalu. Tawon-tawon muda itu semakin dekat ke istana bersama jutaan masa. Penggal lehermu sebelum mereka mencincangmu.”

“Bagaimana dengan ular?”

“Dia akan menemuimu….”

Aku lelaki api, maka hidup dan matiku harus aku pilih sendiri. Maka, aku pilih resital bunuh diri. Sebelum  gelap sempurna, masih kudengar suara patah leherku. Begitu kering, dan seulas senyum perempuan melintas begitu gegas.

“Kaukah itu Ular….??”

  1. Begitulah kalender-kalender terbakar. Euforia menjadi nafas, perubahan menjadi tuhan yang dielu-elukan (Ah, begitu cepatkah kita melupakan segala peristiwa. Begitu sempitkah memori di kepala. Dewi…apakah kau kini terjebak dalam euforia itu dan melupakan lintang takdir kita, kelopak bunga satu tangkai). (BERSAMBUNG)..

*Pecinta Kopi Pait