INDONESIAONLINE – Pembebasan Julia Santoso dari tahanan Bareskrim Polri setelah memenangkan praperadilan menuai sorotan. Keputusan ini, meski disambut positif oleh sebagian pihak sebagai penegasan supremasi hukum, juga memunculkan pertanyaan mengenai penerapan restorative justice dalam kasus yang melibatkan dugaan penipuan, penggelapan, dan pencucian uang.
Julia, yang dilaporkan oleh Soter Sabar Gunawan Harefa (SSGH) terkait PT Anugrah Sukses Mining (ASM), telah memenangkan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 Januari 2025. Putusan tersebut, bernomor 132/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel, tidak hanya memerintahkan pembebasannya, tetapi juga membatalkan status tersangka. Ia dibebaskan tiga hari kemudian, pada 24 Januari 2025.
Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Rahmat Santoso mengapresiasi langkah Bareskrim Polri yang menghormati putusan pengadilan.
“Ini menunjukkan penghormatan terhadap proses hukum,” ujar Rahmat dalam keterangannya Minggu (26/1/2025). Namun, ia juga menekankan pentingnya kepastian hukum sebagai fondasi kepercayaan masyarakat dan investor.
Pengacara Julia, Petrus Selestinus, sebelumnya sempat menyoroti penundaan pembebasan kliennya. Ia menilai penundaan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Nunung Syaifuddin pun angkat suara terkait hal tersebut. Nunung menjelaskan penundaan itu disebabkan oleh proses administrasi penyidikan.
Ironisnya, pelapor Julia, SSGH, sebelumnya bersekutu dengannya dalam menghadapi sengketa dengan perusahaan asing, China Tianjin International Economic & Technical Cooperation Group Corporation (CTIE) dan Tianjin Jinshengda Industrial Co. Ltd. SSGH kemudian dilaporkan oleh CTIE, mendapatkan SP3 melalui restorative justice, dan selanjutnya melaporkan balik Julia.
Inilah yang menjadi titik perdebatan. Petrus Selestinus mempertanyakan legalitas SP3 yang diberikan kepada SSGH, karena proses restorative justice dinilai tidak melibatkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk Julia yang memiliki 99% saham PT HR.
“Restorative justice seharusnya tidak diterapkan dalam kasus seperti ini,” tegas Petrus (ar/dnv).