INDONESIAONLINE – Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyatakan penolakan keras terhadap kebijakan pembatasan operasional angkutan barang selama arus mudik dan balik Lebaran 2025 yang dianggap terlalu lama. Kebijakan yang melarang truk beroperasi selama 16 hari dinilai akan menimbulkan dampak ekonomi yang luas dan berpotensi memicu gejolak sosial.
Ketua Umum Aptrindo, Gemilang Tarigan, mengungkapkan bahwa pembatasan ini bukan hanya berdampak pada pemilik truk, tetapi juga seluruh rantai pasok logistik.
“Ini akan memukul semua pihak, mulai dari pengemudi, buruh bongkar muat, pabrik, pergudangan, perusahaan perkapalan, hingga eksportir dan importir,” tegasnya, Rabu (12/3/2025).
Tarigan merinci potensi dampak negatif yang sangat luas. Pertama, terhambatnya pengiriman bahan baku industri dapat mengancam target pertumbuhan ekonomi 8%. Kedua, ekspor-impor akan terganggu, yang berpotensi menyebabkan pembatalan kontrak dengan pihak luar negeri dan hilangnya devisa.
“Penumpukan barang di pelabuhan juga tak terhindarkan karena kapal dari luar negeri terus berdatangan. Ini akan menyebabkan kongesti, dwelling time yang lama, dan membengkaknya biaya penumpukan serta denda demurage kontainer yang dibebankan oleh pelayaran asing,” jelas Tarigan.
Lebih lanjut, eksportir akan kesulitan memenuhi perjanjian dagang karena barang tidak bisa dikirim tepat waktu. Para pengemudi truk juga akan kehilangan pendapatan selama masa pembatasan, yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial.
Dampak lainnya adalah kapal-kapal yang datang dari luar negeri terpaksa kembali tanpa muatan. Citra Indonesia di mata dunia, khususnya dalam perdagangan internasional, juga akan terpengaruh negatif, yang dapat membuat investor beralih ke negara lain dengan proses ekspor-impor yang lebih mudah.
Tarigan juga menyoroti waktu pemberlakuan kebijakan yang terlalu dekat dengan implementasinya. “Peraturan yang dibuat sangat berdekatan dengan implementasi akan membuat banyak pihak tidak siap. Ini bisa menimbulkan kepanikan, lonjakan biaya produksi karena potensi stop produksi, batal ekspor, dan keterlambatan pengiriman akibat penumpukan kegiatan setelah masa larangan,” imbuhnya.
Aptrindo mempertanyakan kepekaan pemerintah terhadap kondisi ekonomi dan industri saat ini, di mana banyak perusahaan mengalami kesulitan bahkan gulung tikar. “Kondisi ini bukan hanya karena kalah bersaing, tapi juga karena regulasi yang tidak mendukung iklim usaha,” kritik Tarigan.
Menurutnya, pembatasan operasional angkutan barang dalam lima tahun terakhir telah menjadi semacam “budaya” regulator tanpa mempertimbangkan kerugian yang ditanggung pelaku usaha. Aptrindo juga menyoroti dampak langsung pada pengemudi dan buruh bongkar muat yang kehilangan pendapatan harian.
“Dampak negatif ini dapat memicu terjadinya kerawanan gejolak sosial dikarenakan kebutuhan biaya hidup,” urainya.
Sebelumnya, Aptrindo telah mendesak pemerintah untuk merevisi kebijakan bersama terkait pelarangan operasional angkutan barang yang semula direncanakan mulai 24 Maret hingga 8 April 2025. Aptrindo mengusulkan agar pembatasan tersebut diubah menjadi mulai 27 Maret hingga 3 April 2025, sebagai upaya untuk meminimalkan dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial (mca/dnv).