Telusuri perjalanan Boys From The Hills, komunitas graffiti Kota Batu yang sukses mengubah persepsi vandalisme menjadi apresiasi seni. Dari jalanan hingga pameran, mereka membuktikan graffiti adalah ekspresi kreatif yang patut diperhitungkan.
INDONESIAONLINE – Kota Batu, pertengahan September 2025. Langit yang semula cerah berangsur mendung, namun tak menyurutkan semangat para seniman jalanan dari Boys From The Hills (BFTH). Dengan semprotan cat kaleng di tangan, mereka mengubah dinding samping sebuah gelanggang olahraga di Jalan Diran menjadi kanvas raksasa penuh warna.
BFTH, sebuah komunitas graffiti atau Graffiti Crew, bukan sekadar pelukis dinding; mereka adalah garda terdepan skena graffiti di Kota Apel yang telah lama berjuang melawan stigma dan kini meraih pengakuan.
Ketika Dinding Bicara: Evolusi Graffiti dari Vandalisme ke Karya Seni
Fenomena graffiti, seni yang menorehkan tulisan atau gambar dengan gaya khas di ruang publik, kini semakin diterima masyarakat. Dahulu, seni ini kerap identik dengan vandalisme dan konotasi negatif. Namun, gelombang perubahan telah datang, sejalan dengan tren global di mana street art semakin diakui sebagai bagian integral dari seni rupa kontemporer.
Sebuah studi dari lembaga riset Statista (2023) menunjukkan bahwa pasar seni global, termasuk street art, terus tumbuh dengan nilai miliaran dolar, menandakan pergeseran apresiasi publik terhadap medium ini.
Di Kota Batu, perjalanan graffiti tak kalah berliku. Benol, atau Ahmad Kholili, salah satu punggawa BFTH, adalah saksi hidup perkembangan ini. Kecintaannya pada seni jalanan dimulai sejak kecil, menempa keahliannya di berbagai komunitas graffiti lokal.
“Dulu di Batu ada Battle Crew yang jago stencil dengan font rapi, Animal Crew spesialis mural karakter, dan Racon dengan font cat semprotnya,” kenang Benol.
Pengalaman berinteraksi dan berkolaborasi dalam komunitas-komunitas inilah yang membentuk gaya dan identitas artistiknya.
Merajut Komunitas, Membangun Identitas: Dari MSJ hingga BFTH
Pada sekitar tahun 2017, Benol mendirikan Mbatu Seni Jalanan (MSJ) sebagai wadah yang lebih inklusif bagi berbagai jenis seni jalanan, mulai dari graffiti cat semprot, mural, hingga stencil. Berawal dari lima orang, tanpa struktur kepemimpinan formal, MSJ menjadi cikal bakal pergerakan seni jalanan yang lebih terorganisir di Batu.
Namun, seperti banyak komunitas lainnya, MSJ sempat vakum pasca-pandemi COVID-19. “Sempat ada konflik dan vakum,” ujar Benol.
Namun, semangat seni jalanan tak padam. Dari abu MSJ, lahirlah Boys From The Hills (BFTH), sebuah nama yang kini identik dengan geliat graffiti Kota Batu.
Pada tahun 2019-2020, Benol mendapat kepercayaan besar: ditunjuk sebagai ketua Galeri Raos. Kesempatan ini tak disia-siakannya. Ia membuka pintu galeri bagi seniman-seniman muda street art, sebuah langkah revolusioner mengingat dominasi seniman konvensional senior di pameran-pameran sebelumnya.
“Biar diisi anak muda juga, bisa pameran meski awalnya banyak yang tidak percaya diri,” jelasnya.
Pameran ini tidak hanya menjadi ajang unjuk gigi, tetapi juga validasi bahwa graffiti adalah bentuk seni yang legitimate, layak dipajang di ruang kurasi.
Autodidak yang Mendunia: Peran Media Sosial dan Kolaborasi Regional
Pergerakan graffiti di Kota Batu sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan komunitas di Malang Raya. Para seniman muda Batu kerap “bertandang” ke kota tetangga, berkolaborasi dalam berbagai event dan saling belajar. Era media sosial turut mempercepat pertukaran ide dan peningkatan kemampuan.
“Tidak banyak yang punya teori, tapi mereka gila-gilaan di teknik,” ungkap Benol, yang juga berprofesi sebagai guru seni.
Ini mencerminkan fenomena global di mana seniman street art seringkali otodidak, mengasah keterampilan mereka melalui eksperimentasi dan belajar dari sesama (Harvard Graduate School of Design, 2021).
Kini, Kota Batu dan Malang Raya menjadi kancah subur bagi lahirnya berbagai Graffiti Crew baru yang memperkaya keberagaman gaya dan tema.
“Sekarang di Batu juga lebih banyak event yang dibuat tematik. Saling berkolaborasi gambar dan font satu sama lain. Terakhir sempat event jamming tema bantengan, menggambarnya juga pakai kostum-kostum bantengan,” sebut Benol, menggambarkan dinamika dan kreativitas yang tak terbatas.
Ketika Seni Menjelajah Ruang Publik: Pandangan Masyarakat yang Berubah
Perlahan tapi pasti, pandangan masyarakat terhadap graffiti dan seniman jalanan di Kota Batu telah berubah. Dari stigma perusak atau vandalisme, kini muncul ketertarikan dan apresiasi terhadap seni yang tersaji di ruang publik.
“Pandangan masyarakat sudah berkembang. Beberapa kali lewat situ malah ditanyai kapan gambar lagi,” imbuh Benol, menggarisbawahi penerimaan yang semakin meluas.
Ini sejalan dengan studi urbanisme yang menunjukkan bahwa street art dapat meningkatkan citra kota, menarik wisatawan, dan bahkan mengurangi vandalisme tidak terarah (Journal of Urban Affairs, 2019).
Melalui dedikasi Boys From The Hills dan para pelakunya seperti Benol, graffiti di Kota Batu telah bertransformasi. Bukan lagi sekadar coretan di dinding, melainkan ekspresi seni yang hidup, dinamis, dan berdaya untuk mengubah persepsi, bahkan memperkaya identitas budaya sebuah kota. Kisah mereka adalah bukti bahwa seni, dalam bentuk apapun, selalu menemukan jalannya untuk berbicara kepada hati dan pikiran masyarakat (pl/dnv).