INDONESIAONLINE – Sebagian masyarakat muslim sering beranggapan bahwa Safar adalah bulan sial. Sehingga banyak yang tak berani melakukan sejumlah aktivitas kehidupan di bulan ini, seperti mengadakan pernikahan.

Lantas, benarkah Safar itu bulan sial? Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah setelah bulan Muharram. Tahun ini, awal bulan Safar jatuh pada 18 Agustus 2023.

Melansir laman NU Online, ada alasan khusus di balik penamaan bulan Safar, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H). Nama bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini.

Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka, lantaran orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ

 

Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).

Ibnu Manzhur (wafat 771 H), menyampaikan alasan yang lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya:

(1) sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir; (2) orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar;

(3) pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab. (Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460).

Baca Juga  Kampus-Kampus di China Liburkan Mahasiswa untuk Jatuh Cinta

Banyak orang meyakini bahwa pada bulan Safar akan terjadi musibah yang luar biasa dan akan terjadi cobaan melebihi bulan-bulan lainnya. Kepercayaan akan adanya kesialan di bulan Safar sudah ada sejak dahulu di kalangan bangsa Arab.

Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) mengatakan, bulan Safar dan bulan lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Menurutnya sebagaimana dalam bulan lain, dalam bulan Safar dapat terjadi keburukan dan kebaikan. Dengan kata lain, tidak boleh menganggap bulan Safar diyakini sebagai bulan yang dipenuhi dengan kejelekan dan musibah. Ibnu Rajab menegaskan:

وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ

Artinya, “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.”

Ibnu Rajab tidak membenarkan mitos yang beredar seperti itu. Pasalnya semua bulan, zaman, dan tahun merupakan makhluk Allah swt, yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana, dan musibah. Maka sangat tidak logis jika musibah hanya dikhususkan pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lainnya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, penyebab suatu zaman tidak diberkahi oleh Allah swt adalah karena banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia. Begitu juga penyebab suatu zaman bisa diberkahi apabila umat Islam melakukan ketaatan dan kebaikan. Oleh karenanya, Ibnu Rajab menolak anggapan atau keyakinan bahwa bulan Safar dianggap sebagai bulan kesialan yang di dalamnya tidak ada keberkahan sama sekali.

Anggapan atau keyakinan tersebut sebenarnya tidak lepas dari tradisi orang Arab yang memiliki keyakinan bahwa bulan Safar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan. Keyakinan salah itu akhirnya mengakar dan menyebar ke mana-mana, bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengikutinya. Rasulullah saw pun menolak anggapan seperti itu. Rasulullah saw bersabda:

Baca Juga  The Museum of Fart: Museum Kentut di Swedia

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari) (Badruddin ‘Aini, ‘Umdâtul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub: 2006], juz IX, halaman 409).

Habib Abu Bakar Al-Adni dalam salah satu pernyataannya mengatakan, ada beberapa bukti peristiwa yang menolak keyakinan masyarakat Jahiliah atas keyakinannya yang menganggap bahwa bulan Safar merupakan bulan kesialan. Pasalnya ada beberapa peristiwa penting yang dilakukan Rasulullah pada bulan Safar, yakni berikut ini:

(1) Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah pada bulan Safar;

(2) Pernikahan antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Safar;

(3) Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Safar;

(4) perang pertama, yaitu perang Abwa terjadi pada bulan Safar, di mana umat Islam jusrtu mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir;

(5) pada bulan Safar juga terjadi peperangan hebat yaitu perang Khaibar, dan kemenangan diraih oleh umat Islam. (Abu Bakar al-Adni, Mandzûmatu Syarhil Atsar fî Mâ warada ‘an Syahri Shafar, halaman 9). (bin/hel)