INDONESIAONLINE – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan, pada periode 2019 hingga 2022 tidak ada swasembada beras di Indonesia. Sebab, berdasarkan data, impor beras masih terus dilakukan.

Pernyataan Said ini dipicu dengan pernyataan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka saat debat pilpres beberapa waktu lalu terkait swasembada beras.

Menurut Said, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2014 hingga 2023 Indonesia selalu mengimpor beras. Misalnya pada tahun 2014 Indonesia mengimpor beras sebanyak 844 ribu ton, pada tahun 2015 sebanyak 861 ton.

Kemudian pada tahun 2018 atau setahun menjelang pemilu 2019, impor beras melonjak hingga 2,25 juta ton. Padahal, kata Said, pada 2017 impor beras hanya 305 ribu ton.

Hal serupa, kata Said, juga akan terjadi menjelang pemilu 2024. Impor beras pada 2023 mencapai 3,06 juta ton. Menurut dia, impor beras ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah republik ini.

“Jika impor beras dikaitkan dengan bencana El Nino tentu tidak relevan,” kata Said dalam keterangannya yang dikutip Selasa (23/1/2024).

Said mengamini pada tahun 2023 Indonesia akan mengalami El Nino, yaitu musim kemarau yang relatif panjang. Namun jangka waktunya kurang dari empat bulan, sehingga perlu untuk menutupi pasokan beras dalam negeri sebagai cadangan jika sawah gagal panen.

Baca Juga  Kasus Bullying Meningkat, Jadi Perhatian Serius Dinas Pendidikan Jatim

“Pertanyaannya, apakah gagal panen itu mengharuskan impor beras sebanyak 3,06 juta ton pada 2023? Mari kita bandingkan hasil beras pada 2022 dan 2023,” ujarnya.

Dia merinci, berdasarkan data BPS, pada tahun 2022 produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 54,75 juta ton. Sedangkan pada tahun 2023, data terakhir yang disampaikan BPS adalah pada bulan Oktober 2023 produksi GKG mencapai 53,63 juta ton.

“Data ini baru masuk perhitungan hingga Desember 2023. Artinya, produksi GKG sepanjang tahun 2023 berpotensi lebih besar dibandingkan data terbaru yang dirilis BPS,” ujarnya.

Selain itu, data BPS juga mengungkapkan produksi beras pada tahun 2022 sebesar 31,5 juta ton dan periode Januari-Oktober 2023 mencapai 30,9 juta ton. Artinya, kata dia, masih besar kemungkinan terjadinya perubahan data produksi beras hingga Desember 2023.

Oleh karena itu, ia menilai tidak tepat jika El Niño dijadikan acuan untuk menyatakan perlunya impor beras dalam skala besar, terbesar sepanjang sejarah republik ini.

“Saya melihat ada tanda-tanda penyimpangan impor beras dalam jumlah besar pada tahun 2023,” ujarnya.

Said menambahkan, pada tahun 2020 dirinya selaku Ketua Banggar telah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah skema impor. Dia meminta pemerintah mengubah skema impor komoditas dari sistem kuota menjadi impor dengan model tarif.

Pasalnya, kebijakan impor menggunakan sistem kuota bersyarat dalam upaya perekrutan pejabat. Bahkan Ombudsman beberapa waktu lalu telah menemukan perbedaan antara dokumen kuota impor bawang merah dengan realisasi dokumen yang lebih besar.

Baca Juga  Dewa-19 hingga Lesti Billar Ramaikan Kampanye Akbar Prabowo-Gibran di GBK

Hal itu disampaikan Said menanggapi pernyataan calon wakil presiden nomor dua, Gibran Rakabuming Raka dalam debat cawapres yang menyebut Indonesia akan swasembada beras pada 2019 hingga 2022.

“Debat capres dan wakil presiden merupakan kesempatan untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan negara, tidak hanya dari segi ilmunya, tetapi juga sebagai wadah bagi masyarakat untuk mengetahui kualitas kejujuran dan kepemimpinan. Sehingga lebih baik bagi pemimpin masa depan. agar berani mengungkapkan data yang jujur,” ujarnya.

Apalagi, kata Said, persoalan beras ini menyangkut nyawa orang banyak, nasib jutaan petani, bahkan nasib mayoritas masyarakat Indonesia, karena beras merupakan makanan pokok.

Bahkan bagi keluarga miskin, beras adalah hidup dan mati mereka. Itu sebabnya Banggar DPR dan pemerintah sejak awal sepakat bahwa negara harus menjamin pangan bagi rakyat.

“Khususnya beras karena berpengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan mereka untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, ia mengatakan hal-hal terkait data dan kebijakan beras tidak boleh dijadikan komoditas politik pemilu. Apalagi jika dihadirkan secara tidak jujur, tentu kurang baik.

“Bagi pemimpin, jujur ​​bukanlah suatu kehebatan, melainkan suatu keharusan, karena perkataan dan tindakannya mempunyai pengaruh yang luas terhadap rakyatnya,” ujarnya.