INDONESIAONLINE – Putri Sultan Hadiwijaya yang paling cantik itu bernama Sekar Kedathon. Konon kecantikan sang putri begitu tersohor di Negeri Pajang pada zaman itu.

Sayang nasib sang putri ayu itu berakhir tragis. Sang putri tewas mengenaskan akibat skandal percintaan yang bikin malu ayahnya.

Kota Surakarta masih seperti dulu, sederhana dan menenangkan bagi siapa pun yang menyinggahinya. Tampak beberapa warga Kota Bengawan beraktivitas dengan damai di sudut Kampung Tegal Keputren, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan.

Sebagian warga itu melewati sebuah jalan yang tidak terlalu besar. Di pinggir jalan itu ada sebuah sumur yang menurut penuturan warga sekitar adalah sumur keramat.

Ya, sumur itu bukanlah sumur biasa. Sumur itu adalah kuburan, tempat Sekar Kedathon beristirahat abadi. Sumur itu adalah makam keramat, tempat Sekar Kedathon beristirahat abadi. Sumur itu tidak seperti sumur pada umumnya. Sumur itu berukuran besar dengan kedalaman kurang lebih sekitar 5 meter.

Konon makam Sekar Kedathon di Kampung Tegal Keputren itu hingga kini masih terawat. Banyak peziarah dari luar daerah yang berkunjung ke makam ini. Makam ini merupakan jejak sejarah yang menandakan kebesaran Kesultanan Pajang di masa silam.

Cerita lisan dari Pajang menyatakan, Sekar Kedathon dikubur hidup-hidup oleh ayahnya, Raja Kesultanan Pajang Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Sang putri yang cantik itu nekat menceburkan diri ke dalam sumur setelah skandal percintaannya dengan Raden Pabelan diketahui sang ayah. Raja Pajang marah besar setelah tahu Sekar Kedathon berzina dengan Raden Pabelan.

Raden Pabelan adalah seorang playboy di zaman Sultan Hadiwijaya. Pabelan adalah putra Tumenggung Mayang, salah seorang bupati di Kerajaan Pajang. Peristiwa ini mungkin terjadi di sekitaran pertengahan abad ke-15.

Raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang itu, berwajah tampan rupawan tapi bandel. Pabelan juga suka mengganggu anak istri orang. Ketampanan pemuda ini jadi buah bibir. Banyak gadis Pajang terpesona karena Pabelan memang menjadi idaman.

Diam-diam ulah Pabelan membuat ayahnya pusing. Penyebabnya sang anak lelaki ini tidak mau menikah dan sukanya hanya main-main mengganggu perempuan.

Kesal dengan perilaku anaknya, Tumenggung Mayang kemudian menantang Pabelan untuk mendekati Sekar Kedathon, putri sultan Pajang yang berparas jelita.

Pabelan awalnya gentar, namun pada akhirnya ia semakin tertantang untuk bisa mendekati putri sang raja. Patut diakui Pabelan memang benar-benar mahir dalam merayu perempuan. Lewat dayang yang pergi ke pasar, Pabelan menitipkan bunga dan surat rayuan lewat perantara dayang itu.

Gayung cinta pun bersambut. Sekar Kedathon akhirnya tergoda. Setelah mendengar berita ketampanan Pabelan, sang putri pun mencari cara untuk mengundangnya masuk keputren.

Dengan kecerdikannya, Pabelan akhirnya  berhasil masuk ke kawasan keputren dan menemui Sekar Kedhaton. Pada malam hari, Raden Pabelan datang lewat jalan rahasia yang ditunjukkan si emban.

Raden Pabelan akhirnya bertemu Sekar Kedathon di kamar. Sekar Kedathon benar-benar dimabuk cinta dan hampir tujuh hari putri tidak keluar kamar dan hanya meminta emban mengantar makanan. Kedua sejoli itu larut dalam indahnya cinta. Keduanya tidur bersama dan berhubungan layaknya suami istri.

Baca Juga  Cara Membuat Baklava dan Lokum Turki di Rumah

Sikap aneh Sekar Kedathon itu akhirnya menimbulkan kecurigaan di antara para emban lainnya. Para emban lainnya mengintip kamar Sekar Kedathon dan terlihat ada seorang pemuda tampan sedang bermesraan dengan putri raja. Kejadian tersebut akhirnya dilaporkan kepada Sultan Hadiwijaya.

Perbuatan Raden Pabelan membuat sultan Pajang marah besar. Ia memerintahkan ahli perang Pajang bersama beberapa prajurit mengepung Raden Pabelan di kamar Sekar Kedathon. Sadar dikepung dan nyawanya terancam, Pabelan dan Sekar Kedathon justru malah tidak mau keluar. Keduanya malah mesra berpelukan dan bertekad untuk mati bersama.

Ahli perang Pajang kemudian memainkan siasat cerdik. Ia membujuk Pabelan dan mengatakan bahwa peristiwa ini sudah diketahui sultan dan akan dinikahkan.

Mendengar perkataan ahli perang ini, Raden Pabelan mau melepas pelukan dan akhirnya keluar dari kamar Sekar Kedathon.

Sampai di luar kamar keputren, Raden Pabelan langsung diringkus. Bukannya diamankan  namun pria paling tampan di negeri Pajang itu justru dibantai oleh prajurit kerajaan.

Pabelan tewas. Mayat Pabelan lalu dibuang di Sungai Laweyan. Sumber lain menyatakan Pabelan tewas dipenggal lehernya.

Sekar Kedathon sangat terpukul setelah tahu kekasihnya tewas mengenaskan di tangan prajurit Pajang atas perintah ayahnya. Ia lalu kabur dari istana Pajang dan sesampai di Kampung Tegal Keputren yang tak jauh dari istana, Sekar Kedathon melihat sebuah sumur. Tanpa berpikir panjang, sang putri yang berparas jelita itu bunuh diri dengan menceburkan diri ke dalam sumur. Sekar Kedathon memilih keputusan ini karena putus asa dan kecewa dengan sikap ayahnya yang membunuh kekasihnya, Raden Pabelan.

Mengetahui putrinya menceburkan diri ke dalam sumur, Joko Tingkir bukannya menolong. Kemarahan membuat Joko Tingkir malah langsung mengubur putrinya hidup-hidup. Joko Tingkir memerintahkan prajuritnya menguruk sumur itu dengan tanah. Habislah nyawa Sekar Kedathon. Dia menyusul Pabelan ke alam baka dengan cara yang sama-sama tragis.

Nasib Raden Pabelan lebih pilu dibandingkan Sekar Kedathon. Setelah ayahnya dipersalahkan dan oleh raja dibuang ke Semarang, berhari-hari jasad Raden Pabelan terombang-ambing di Bengawan Solo yang saat itu bernama Sungai Laweyan. Jasad sang pemuda tampan itu kemudian ditemukan oleh Kiai Sala. Jasad Pabelan ditemukan tersangkut di bantaran sungai yang kini menjadi wilayah Pasar Kliwon, Kota Surakarta.

Konon saat jasad itu akan dihanyutkan kembali, ternyata tidak bisa. Saat ditemukan, kondisi jenazah Pabelan sudah mulai membusuk.

Kiai Sala kemudian menyempurnakan jasad Pabelan dengan memakamkannya secara layak di tempat yang saat ini berada di pojok benteng Alun-Alun Keraton Surakarta.

Konon dimakamkannya Pabelan di tempat tersebut merupakan permintaan yang diterima Kiai Sala melalui komunikasi gaib. Dalam komunikasi gaib itu, Kiai Sala yang baik hati mendengar bahwa Pabelan telah mengakui perbuatannya yang tidak benar. Kepada Kiai Sala, Pabelan kemudian meminta agar jasadnya dimakamkan di sebelah barat Bengawan Solo.

Baca Juga  Kisah Pertemuan 2 Makhluk yang Dilaknat, Bongkar Sosok yang Lebih Buruk dari Firaun dan Iblis

“Pabelan berkata kepada Kiai Sala, tulong kuburku kekno neng sebelah barat Bengawan Solo. Suatu hari nanti, akan ada negara besar di wilayah tersebut,” ungkap Gusti Puger.

Apa yang dikatakan Pabelan itu kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Selang sekitar seratus lima puluh tahun kemudian sejak kematiannya, tempat Pabelan dimakamkan yang berupa rawa-rawa itu berubah menjadi sebuah negara besar. Negara besar itu adalah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang didirikan Sunan Pakubuwono II.

Hingga kini, makam Raden Pabelan tetap di tempat yang sama. Jasadnya tidak dipindah meskipun di sekeliling tempat ia tidur abadi telah menjadi pusat pertokoan. Lokasi makam Pabelan saat ini menjadi bagian dari Kompleks Beteng Trade Center atau BTC, Pasar Kliwon, Kota Surakarta.

Sementara terkait dengan Kiai Sala, belum ditemukan catatan atau cerita lisan mengani kiprahnya setelah peristiwa tewasnya Raden Pabelan. Sebuah catatan dari Keraton Surakarta hanya menjelaskan setelah meninggal dunia, jasad Kiai Sala dimakamkan di tempat yang saat ini berdiri bangunan sitinggil yang lokasinya tidak jauh dari BTC Pasar Kliwon tempat  Pabelan dimakamkan.

3 Saat perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta, jasad Kiai Sala dipindahkan ke pojok wetan Baluwarti karena makam yang lama itu akan dibangun bangunan sitinggil.

Hingga kini makam Kiai Sala yang berada di pojok wetan Baluwarti ramai dikunjungi peziarah. Sayangnya, sedikit yang mengetahui tokoh yang dimakamkan di pasarean tersebut adalah Kiai Sala. Mayoritas orang menganggap tokoh yang dimakamkan di tempat itu adalah Ki Gede Sala, pendiri Desa Sala yang hidup pada zaman Kartasura.

“Tulisan latin Ki Gede Sala di makam itu sebenarnya salah. Harusnya segera dibenarkan. Di makam itu kan ada tulisan Jawa yang terukir di batu. Tulisan itu Jawa itu bunyi ejaannya  Kiai Sala,” ungkap putra Sunan Pakubuwono XII dan budayawan Keraton Surakarta, KGPH Puger.

Gusti Puger menegaskan, meski sama-sama bernama Sala, Ki Gede Sala dan Kiai Sala bukanlah orang yang sama. Kiai Sala adalah tokoh yang hidup di zaman Keraton Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Sedangkan Ki Gede Sala adalah tokoh yang hidup pada zaman Keraton Kartasura era pemerintahan Sunan Pakubuwono II. Dua tokoh ini berbeda era dan tidak pernah bertemu pada satu zaman.

“Kiai Sala itu hidup masa Pajang dan Ki Gede Sala itu hidup masa Kartasura. Kan adoh (jauh) banget. Lha wong Pajang itu kerajaan sebelum Mentaok. Mentaok lalu jadi Mataram, Mataram lalu ke Plered dan Kartasura. Kan adoh banget. Pajang itu abad 16 akhir dan Kartasura itu abadnya 17 akhir. Jadi, jaraknya dua tokoh itu 100 tahun. Setelah Kiai Sala, baru 100 tahun kemudian ada Ki Gede Sala,” jelas Gusti Puger. (ar/hel)