INDONESIAONLINE – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali disorot. Kali ini soal keputusan menunda kasus korupsi yang melibatkan calon kepala daerah (cakada) yang berkompetisi di Pilkada 2024.
Sorotan salah satunya datang dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM). Pukat UGM mengkritik KPK karena keputusan menunda kasus korupsi cakada itu dinilai tidak memiliki dasar hukum.
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menegaskan, kebijakan ini sama sekali tidak punya dasar dalam peraturan perundang-undangan. Padahal aparat penegak hukum bekerja harus atas dasar peraturan perundang-undangan. “Apakah itu kalau KPK itu Undang-Undang KPK atau Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” ucapnya.
Jadi, ketika KPK menjalankan kewenangan tanpa berdasarkan UU, Zaenur menganggap KPK tidak profesional. Bahkan, tindakan KPK itu dinilai sangat membahayakan.
Zaenur menyebut keputusan KPK itu melanggar prinsip equality before the law atau asas kesamaan/setara di hadapan hukum. Sebab, KPK membedakan penanganan kasus terhadap pihak berkompetisi dengan yang tidak ikut Pilkada 2024.
“Berarti ada perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara yang sedang diproses perkara korupsi. Kalau sedang menjalankan kontestasi pilkada,berarti pemeriksaannya dihentikan sementara. Kalau yang tidak menjalani pilkada berarti perkaranya lanjut. Berarti ini ada perbedaan perlakuan,” ucapnya.
Bukan hanya itu. Menurut Zaenur, penundaan penyelidikan kasus calon kepala daerah selama Pilkada 2024 sangat berbahaya. Sebab, bisa digunakan pihak yang berperkara untuk menghilangkan barang bukti hingga memengaruhi saksi-saksi yang berujung akan menyulitkan penyelesaian perkara.
“Kalau alasannya untuk menghindari adanya politisasi, justru di situlah proses hukum itu harus benar-benar kuat berbasis alat bukti. Jangan sekali-kali memproses orang kalau belum ada alat buktinya yang kuat. Sehingga seharusnya alasan untuk menghindari politisasi itu tidak ada,” tandas dia.
Zaenur menyebut, jika KPK punya alat bukti yang menunjukkan tindak pidana yang dilakukan seorang cakada, seharusnya pemeriksaannya dipercepat. Hal itu dilakukan agar rakyat tidak mendapat pemimpin yang koruptif.
“Agar jangan sampai rakyat mendapatkan calon pemimpin yang tersangkut kasus korupsi di kemudian hari bisa bermasalah atau bahkan ini bisa menyandera calon kepala daerah, apalagi nanti jika sudah menduduki jabatannya,” imbuhnya dia.
Sebelumnya, KPK memutuskan menunda mengusut kasus korupsi yang terkait dengan peserta Pilkada 2024. Kebijakan itu diambil untuk mencegah adanya kepentingan politik yang menunggangi kerja KPK selama pilkada berlangsung.
“Jadi KPK juga tidak ingin penegakan hukum ini ditunggangi oleh orang atau kelompok politik tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya selama masa pilkada,” kata Jubir KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, Selasa (3/9).
Tessa mengatakan kebijakan itu akan diterapkan hingga November mendatang atau saat pemungutan suara Pilkada 2024 rampung digelar. Pengusutan kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah akan kembali berlanjut setelah pilkada selesai. (red/hel)