Puisi: Belajar pada Kuku

*dd nana veno

1)
Hiduplah sampai putih mata putih kuku
Memanjang tanpa takluk oleh waktu.

Begitulah, lelaki dengan paras yang ditempa cuaca menulis
di sebuah malam yang menyimpan deru mesin kendaraan.

Sebatang rokok mulai ditinggalkan asapnya, tepat
di kalimat, “Andai kau tahu, cintaku bukanlah bara api. Tapi tumbuhnya kuku yang tak kenal menyerah pada segala musim. Atau pun kematian.”

Malam menyepi. Aksara menepi. Lelaki itu akhirnya
membasuh wajahnya pada gelap malam.

Membakar segala kalimat yang dia tulis
sendiri.

2)
Fahami tepi, maka kau akan sadar
hidupmu yang mengalir sepanjang parit waktu

untuk apa.

Begitulah, seorang lelaki yang aku temui di ujung malam berkata-kata
serupa gumum, igauan atau mungkin mimpi

Baca Juga  Puisi Arwah Jatuh Cinta

yang datang dan tidak ingin kita ingat lagi.

Belajar pada kuku bukan hanya buku, lanjutnya.

Sebelum jalanan kembali diramaikan deru mesin kendaraan yang tak pernah mati.

Mataku telah begitu berat meminta pejam.

3)
Kau potong dia setiap pekan
Membersihkan kotoran yang menginap nyaman
Walau terlihat menjijikan,

lelaki itu menyatakan,

“Seperti cinta yang diingkari keinginan. Rasa purba yang bebas dari segala ikatan dan pikiran. Kau enyahkan sakit, kau diamkan banyak mata yang menghardik.”

Aku merekamnya dalam tulisan dengan jari gemetar
mengingat cinta kita yang serupa dedaunan layu.

Ditinggal keremajaan yang menantang segala pantangan.

4)
Aku kerap memuji bersih kukumu
dengan elusan gemetar jemari dan panasnya nafas
di ruangan yang kini menjadi bagian tersembunyi dalam cerita.

Baca Juga  Puisi Kukila

Puisi, terkadang enggan untuk mengabarkannya lagi.

“Terlalu silau, terlalu memukau. Biarkan saja merabuk lenyap,” ucap puisi yang juga ingin merasakan rasanya berakhir pekan.

5)
Tak takut pada maut
tak takluk pada waktu yang melanggut, melaut
cinta akan berlayar pada segala kecemasannya
tumbuh terus di tepi-tepi sunyi.
“Sayang kau mulai tak menyadarinya, kini, sayang,”.

*Pecinta kopi pait dan tukang wingko