Sebutan Pelacur: dari Wanita Publik dan Penjahat yang Dibutuhkan

INDONESIAONLINE – Di masa kolonial Belanda, para penjaja seks atau pelacur disebut sebagai ‘wanita publik’.

Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya dan dilegalkan secara aturan di zaman itu.

Ruang hidup secara legal prostitusi bermula saat Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis dengan Gubernur Jenderalnya bernama Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811).

Kondisi saat itu pelacuran begitu marak dan telah menimbulkan penyebaran penyakit kelamin yang memakan banyak korban jiwa, terutama para prajurit Perancis.

Melihat hal tersebut, maka prostitusi dilegalkan dengan berbagai aturan terhadap wanita publik. Misalnya, pengobatan berkala bagi para wanita publik ini.

Sayangnya, aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali, seperti yang ditulis oleh Liesbeth Hesselink, dalam “Prostitution: A Necessary Evil,”.

Liesbeth juga menulis, saat Prancis hengkang, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi.

Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki dan mereka menyebut para wanita publik ini sebagai penjahat yang dibutuhkan.

Pemerintah berpihak pada mereka, maka di tahun 1852 lahirlah  “Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen “(Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) yang merupakan pijakan legal para wanita publik.

Baca Juga  Kisah Pangeran Teposono, Putra Amangkurat III yang Dieksekusi Mati Pakubuwono II

Dalam naungan aturan 1852 tersebut, Wanita Publik memiliki berbagai aturan yang wajib dijalaninya.

Dalam Pasal 2 dinyatakan wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi, selain itu diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (Pasal 8, 9, 10, 11).

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, tulis Liesbeth, maka harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut.

Tetapi harapan pemerintah kolonial ternyata berbanding terbalik. Sebaran penyakit kelamin dan prostitusi liar tetap semarak.

“Suara para penentang aturan prostitusi menguat. Puncaknya pada tahun 1913 ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Kesusilaan Publik,” tulis Liesbeth yang juga menyatakan saat itu kembali praktik prostitusi jadi ilegal lagi.

Baca Juga  Hotel Termurah di Dunia, Hanya Rp 4 Ribu Per Malam

Tapi prostitusi tidak lantas mati, walaupun pemerintah mengerahkan Polisi Susila Hindia Belanda dalam memberantas prostitusi. Para pelakunya bergerak secara sembunyi-sembunyi.

Simons, ahli demartologi Batavia menyebut prostitusi di Surabaya berkembang menjadi delapan jenis pada 1939. Para wanita publik dipasok dari Malang, sebagai salah satu daerah dari 11 kabupaten yang terkenal sebagai gudangnya wanita cantik.

Kabupaten Pemasok Perempuan untuk Raja

Dari berbagai literatur, terdapat sebelas kabupaten yang dikenal sebagai pemasok perempuan untuk raja di zaman kerajaan sampai zaman kolonial.

Sebelas kabupaten tersebut berada di Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). Berikut nama-nama kabupaten pemasok perempuan di era kerajaan hingga zaman kolonial.

Pemasok yang berasal dari Jabar ada Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Untuk Jateng ada Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Sedangkan pemasok dari Jatim adalah Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan.