KPK dalami kasus korupsi Ridwan Kamil terkait dana iklan Bank BJB. Aliran uang Rp 200 miliar, aset tersembunyi, hingga saksi artis diusut tuntas.
INDONESIAONLINE – Gedung Merah Putih di Kuningan Persada tampak menjulang kaku di bawah langit Jakarta yang kelabu pada penghujung tahun ini. Namun, dinginnya arsitektur gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tak sedingin nasib yang kini menggelayuti Ridwan Kamil.
Sang arsitek yang dulu dipuja karena goresan tangannya mempercantik wajah kota, kini harus berhadapan dengan “desain” kasus hukum yang rumit. Ia tidak lagi berbicara tentang tata kota atau estetika ruang publik, melainkan tentang angka-angka fantastis yang hilang dari neraca keuangan negara.
Kasus dugaan korupsi pengadaan iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) menjadi badai besar yang mengguncang karier politik pria yang akrab disapa Kang Emil ini. Bukan sekadar isu pinggiran, ini adalah perkara rasuah dengan nilai kerugian negara yang menembus angka Rp 222 miliar—sebuah jumlah yang cukup untuk membangun puluhan sekolah atau puskesmas di provinsi yang pernah dipimpinnya.
Anatomi Skandal: Ketika Iklan Menjadi Bancakan
Penyidikan ini bermula dari kejanggalan laporan keuangan Bank BJB periode 2021-2023. Dalam dunia perbankan, biaya promosi dan iklan adalah pos pengeluaran yang wajar untuk menjaga citra korporasi. Namun, bagi penyidik KPK, angka-angka dalam pos tersebut menyembunyikan sebuah skema perampokan yang sistematis.
KPK mengendus adanya mark-up (penggelembungan harga) dan penempatan dana fiktif dalam pengadaan iklan tersebut. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 222 miliar. Dari jumlah raksasa itu, penyidik menemukan indikasi aliran dana nonbudgeter sebesar Rp 200 miliar yang diduga mengalir deras ke arah Ridwan Kamil.
Istilah nonbudgeter dalam leksikon korupsi Indonesia adalah sinyal bahaya. Ini adalah dana taktis, uang “hantu” yang tidak tercatat dalam pembukuan resmi, namun beredar di bawah meja untuk membiayai kepentingan pribadi atau politik penguasa.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, pada Rabu (17/12/2025), secara eksplisit menyebut bahwa penelusuran KPK mengarah pada dugaan aliran dana tersebut ke “saudara RK”.
Pernyataan ini mengubah status kasus dari sekadar korupsi korporasi BUMD menjadi skandal politik tingkat tinggi. Sebagai Gubernur Jawa Barat saat itu, Ridwan Kamil adalah Pemegang Saham Pengendali (PSP) di Bank BJB. Posisi ini menempatkannya bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai figur sentral yang memiliki akses terhadap kebijakan strategis bank pelat merah tersebut.
Pertahanan Sang Mantan Gubernur
Ketika Ridwan Kamil melangkah keluar dari ruang pemeriksaan pada Selasa (2/12/2025), wajahnya berusaha tetap tenang. Di hadapan awak media, ia memainkan kartu pertahanan klasik: delegasi wewenang.
“Saya itu tidak mengetahui apa yang namanya menjadi perkara dana iklan ini, karena dalam tupoksi gubernur, aksi korporasi dari BUMD itu adalah dilakukan oleh teknis mereka sendiri,” ujarnya.
Argumen ini secara hukum administratif mungkin terdengar masuk akal. Gubernur adalah jabatan politis, bukan eksekutif perusahaan yang mengurusi teknis kontrak iklan. Namun, KPK memiliki logika penyidikan yang berbeda. Dalam kasus korupsi kerah putih (white-collar crime), jejak digital dan aliran uang (follow the money) berbicara lebih jujur daripada alibi lisan.
Budi Prasetyo menegaskan bahwa penyidik telah mengantongi “dokumen dan barang bukti elektronik”. Frasa ini menyiratkan bahwa KPK tidak sedang menebak-nebak. Mereka memegang data transaksi, percakapan digital, atau mungkin catatan pembukuan ganda yang meruntuhkan klaim ketidaktahuan sang mantan gubernur.
Korupsi yang melibatkan dana ratusan miliar jarang sekali terjadi tanpa sepengetahuan—atau setidaknya restu diam-diam—dari pemegang kekuasaan tertinggi.
Metode Follow the Money: Memburu Aset Tersembunyi
Penyidikan KPK kini memasuki fase yang lebih agresif: pelacakan aset (asset tracing). Metode follow the money menjadi pisau bedah utama untuk memisahkan antara harta yang sah dan hasil kejahatan. Fokus penyidik terarah pada aset-aset Ridwan Kamil yang tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Kewajiban lapor LHKPN adalah benteng pertama integritas pejabat. Ketika seorang pejabat menyembunyikan aset, asumsi hukum yang muncul adalah adanya niat jahat (mens rea) untuk menutupi asal-usul harta tersebut.
“Ada di sejumlah tempat. Ya, di antaranya di Bandung, di luar Bandung juga ada,” ungkap Budi Prasetyo pada Rabu (24/12/2025).
Aset-aset ini, yang diduga berupa tempat usaha properti dan komersial, kini sedang divalidasi sumber perolehannya. Apakah dibeli dari gaji gubernur? Hasil usaha arsitektur? Atau dari cipratan dana iklan Bank BJB yang disamarkan?
Jika terbukti aset tersebut dibeli menggunakan uang hasil tindak pidana korupsi, Ridwan Kamil tidak hanya terancam pasal korupsi, tetapi juga pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Lingkaran Wanita dan Spekulasi Aliran Dana
Seperti naskah drama yang penuh intrik, kasus ini semakin menarik perhatian publik dengan terseretnya nama-nama selebritas. Lisa Mariana, seorang selebgram, telah diperiksa dan bahkan ditetapkan sebagai tersangka. Ia mengakui menerima aliran dana, sebuah pengakuan yang menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri penerima lainnya.
Sementara itu, rumor mengenai aliran dana ke artis Aura Kasih merebak liar. Meski pihak Aura Kasih melalui kuasa hukumnya, Yanti Nurdin, membantah keras pada Selasa (23/12/2025) dan menyebutnya sebagai “gorengan berita”, KPK tetap bekerja berdasarkan bukti.
“Nanti kami akan cek validitas dari informasi tersebut,” ujar Budi dingin.
Dalam pola pencucian uang, penggunaan pihak ketiga (termasuk artis atau kerabat) sering digunakan sebagai metode layering—melapisi uang haram agar tampak sah atau setidaknya menjauhkannya dari pelaku utama.
Lebih jauh lagi, KPK membuka peluang memeriksa istri Ridwan Kamil, Atalia Praratya. Langkah ini wajar dalam konteks follow the money, mengingat aliran dana keluarga sering kali menjadi tempat persembunyian paling aman sekaligus paling rentan bagi hasil korupsi.
Antara Prahara Rumah Tangga dan Jerat Hukum
Ironisnya, badai hukum ini datang beriringan dengan kabar keretakan rumah tangga Ridwan Kamil. Isu perceraian yang mencuat ke publik menambah dimensi tragis pada sosok yang dulu dicitrakan memiliki keluarga harmonis ini.
Namun, hukum tidak mengenal sentimen melodrama. KPK memastikan proses perceraian—jika benar terjadi—tidak akan menghambat penyidikan. Aset yang menjadi objek sengketa harta gono-gini dalam perceraian sekalipun, tetap dapat disita negara jika terbukti berasal dari tindak pidana korupsi.
“Basisnya adalah follow the money,” tegas Budi.
Kasus dugaan korupsi ridwan kamil ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan cerminan rapuhnya tata kelola BUMD di Indonesia. Bank daerah sering kali diperlakukan sebagai “sapi perah” oleh penguasa lokal.
Dana promosi, Corporate Social Responsibility (CSR), hingga kredit fiktif kerap menjadi modus untuk mengeruk uang negara demi kepentingan politik atau pribadi.
Jika dugaan ini terbukti di pengadilan, ini akan menjadi lonceng peringatan keras. Bahwa popularitas di media sosial, citra santun, dan karya arsitektur megah tidak dapat menjadi tameng dari pertanggungjawaban hukum.
Kini, publik menunggu. Apakah KPK mampu mengurai benang kusut dana iklan bank bjb ini hingga ke akarnya? Ataukah aliran dana korupsi ini akan menguap begitu saja? Satu hal yang pasti, akhir tahun 2025 menjadi titik nadir bagi Ridwan Kamil, di mana integritasnya diuji bukan oleh tepuk tangan pengagum, melainkan oleh tajamnya pertanyaan penyidik di Gedung Merah Putih.
