INDONESIAONLINE – Rampogan Macan ditampilkan secara memukau di gelaran spektakuler Blitar Etnic National (BEN) Carnival 2023. Tarian tradisional ini dipentaskan oleh seniman lokal Blitar dengan sangat lincah.

Para seniman membagi peran dalam menarikan rampogan macan ini. Dua orang berperan sebagai macan atau harimau, sedang lainnya berperan sebagai pemburu macan yang memainkan tombak. Tarian ini benar-benar melukiskan tradisi rampogan macan yang hidup di masa lalu.

Jalan Ahmad Yani depan kantor DPRD Kota Blitar dijadikan sebagai ilustrasi arena pertarungan macan dengan manusia seperti Alun-alun Blitar di akhir abad ke-18.

Macan-macan berloreng itu dilepaskan dari kandang dan kemudian dikeroyok beramai-ramai oleh manusia. Dua harimau itu akhirnya tewas akibat ditusuk-tusuk oleh manusia-manusia yang bersenjatakan tombak.

Pertunjukan rampogan macan ini pun menghipnotis para penonton BEN Carnival 2023. Wali Kota Blitar Santoso, Forkopimda dan Anggota DPR RI Arteria Dahlan memberikan apresiasi atas pertunjukan tersebut.

Tamu-tamu undangan lain yang hadir di BEN Carnival 2023 ini juga secara khusus memberikan apresiasi. Nampak mereka mengabadikan momen ini dengan merekam melalui ponsel android.

Rampogan Macan

Istilah rampogan macan mungkin terdengar asing. Hal ini menjadi wajar karena tradisi ini memang telah punah. Begitupun artefak atau peninggalan dari tradisi ini sangat minim. Kalaupun ada, itu hanya beberapa foto-foto peninggalan Hindia Belanda.

Secara etimologis Rampogan Macan terdiri dari 2 kata yaitu rampogan yang artinya “rayahan” atau “rebutan” dan Macan atau Harimau.

Bila diartikan secara keseluruhan maka Rampogan Macan adalah sebuah kegiatan “rebutan” macan untuk dibunuh secara beramai-ramai dengan menggunakan tombak ataupun benda tajam lainnya.

Pada awalnya tradisi ini berkembang sejak abad ke-17 di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di masa pemerintahan Raja Susuhunan Amangkurat II. Sebagian ada yang percaya bahwa tradisi ini sudah berlangsung sejak masa Kerajaan Singasari.

Baca Juga  Memasyarakatkan (Lagi) Lagu Daerah, Museum Musik Indonesia Gelar Nusantara Bernyanyi

Raden Kartawibawa dalam buku Bakda Mawi Rampog menceritakan secara rinci tradisi rampogan macan ini. Buku tersebut diterbitkan Balai Pustaka (Bale-Poestaka) pada tahun 1923. Buku bersejarah itu kemudian dipindai oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Djoko Luknanto dan diunggah di situs staff UGM.

Menggunakan Bahasa Jawa, Kartawibawa  seorang ahli ilmu pertanian dan sejarawan asal Blitar itu menggunakan istilah ‘sima’ untuk merujuk kepada kucing besar ini. Terkadang ia juga menggunakan istilah ‘macan loreng’ untuk merujuk pada harimau, atau menambahkan keterangan untuk macan jenis yang lain.

Kartawibawa yang hidup setelah era Perang Dipongeoro menyaksikan sendiri hidupnya tradisi ini. Saat ia masih kecil, hewan pemakan daging yang tersebar di Pulau Jawa ini masih cukup sering dijumpai. Kadang-kadang, harimau Jawa ini memangsa ternak warga hingga akhirnya diburu.

Bahkan penguasa saat itu memberi imbalan bagi siapa saja yang bisa membunuh si loreng. Satu ekor harimau dihargai 10 hingga 50 Gulden. Dalam kondisi seperti itu, acara rampogan macan menjadi hal biasa.

Di wilayah Blitar, Rampogan Macan berkembang menjadi sebuah acara untuk perayaan menjelang hari besar agama seperti Hari Raya Idul Fitri dan Tahun Baru Islam. Pertunjukan kolosal yang masih marak dipertontonkan di awal 1900-an ini biasa di gelar di Alun-alun.  Ibarat gladiator di jaman romawi, harimau buruan dilepaskan dan dipertarungkan dengan ribuan orang di Alun-alun.

Dalam bukunya, Kartawibawa menggambarkan ribuan pria yang memegang tombak mengitari alun-alun membentuk barikade. Dalam pertunjukan tersebut orang-orang beradu nyali memamerkan kehebatan dan keampuhan tombak atau senjata pusaka masing-masing. Di tengah, kandang-kandang yang kelewat sempit untuk harimau kemudian dibuka.

Baca Juga  Wisata Bromo Ditutup Total, Ada Apa?

Harimau itu dipaksa untuk menghadapi tajamnya tombak-tombak masyarakat. Satu harimau versus ribuan pria bersenjatakan tombak.Supaya harimau itu keluar dari kandangnya dan berlarian menerjang barikade tombak, maka massa di alun-alun bersorak.Bila harimau masih diam saja, biasanya mercon besar dinyalakan atau ada orang yang memancing dengan senjata agar harimau itu mengamuk di alun-alun.

Harimau yang kebingungan mencoba menerjang barikade orang-orang yang memegang tombak. Bagaikan sapu lidi, tombak-tombak tajam yang diarahkan membuat tubuh dan kepala harimau terluka dan membuat harimau berlari kesisi barikade yang lain. Begitu seterusnya harimau yang kebingungan akan mati kehabisan darah atau diam ditengah menunggu ribuan tombak mengoyak badannya sampai mati.

Secara Filosofis Rampogan Macan diselenggarakan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan maupun para pejabat dari Belanda, sehingga secara tersirat tradisi ini ditujukan untuk memperlihatkan bahwa kekuatan rakyat dapat mengalahkan kekuasaan para penjajah yang dilambangkan dalam bentuk macan atau harimau.

Keberadaan rampogan macan secara langsung menyebabkan populasi harimau jawa perlahan-lahan punah. Setiap hari ada puluhan harimau yang diburu dengan bengis. Beberapa diawetkan lalu dijual pada saudagar. Beberapa lagi dikuliti karena motif rambutnya yang sangat unik. Harimau yang masih kecil atau belum dewasa biasanya dipelihara dan digunakan untuk rampogan macan.

Di Blitar, tradisi ini benar-benar ditinggalkan pada akhir abad ke-19. Kala itu harimau jawa benar-benar punah dan tidak bisa diselamatkan keberadaan. Tapi saat rampogan macan bermanifestasi dalam pertunjukan tari, ia menjadi daya hipnotis yang membuat kaya seni budaya Blitar (ar/dnv).