Beranda

Tragedi Kushayatun: Rumah Leluhur Rata Tanah Tanpa Palu Hakim

Tragedi Kushayatun: Rumah Leluhur Rata Tanah Tanpa Palu Hakim
Ilustrasi pembongkaran rumah (io)

Kisah pilu Nenek Kushayatun Tegal. Rumah warisan 1887 dibongkar paksa tanpa putusan pengadilan. Investigasi dugaan keterlibatan ASN dan mafia tanah.

INDONESIAONLINE – Fenomena pengusiran paksa terhadap kaum lansia di atas tanah yang mereka huni selama puluhan tahun tampaknya menjadi tren kelam di penghujung tahun 2025. Belum kering air mata publik melihat video viral Nenek Elina (80) yang diseret dari rumahnya di Surabaya, kini cerita serupa—bahkan dengan plot yang lebih rumit—muncul dari Kota Bahari, Tegal.

Kushayatun (65), warga Kelurahan Kraton, Tegal Barat, kini harus menelan pil pahit. Rumah yang menjadi tempat berteduh sekaligus ladang nafkahnya telah rata dengan tanah sejak Rabu, 1 Oktober 2025. Yang membuat kasus ini mencengangkan bukan hanya soal sengketa kepemilikannya, melainkan prosedur eksekusinya yang menabrak logika hukum dasar: pembongkaran dilakukan tanpa selembar pun surat penetapan eksekusi dari pengadilan.

Senin, 29 Desember 2025, menjadi babak baru perjuangan Kushayatun ketika penyidik Polres Tegal Kota mulai memanggil pejabat publik setempat. Kasus ini bukan sekadar sengketa agraria biasa; ini adalah ujian bagi integritas birokrasi dan aparat penegak hukum di Jawa Tengah.

Bayang-Bayang “Eigenrichting” dan Absennya Negara

Kuasa hukum Kushayatun, Agus Slamet dari LBH FERARI Tegal, dengan lantang menyebut kasus ini memiliki kemiripan pola dengan tragedi Nenek Elina di Surabaya. “Sama-sama tidak ada proses eksekusi dari pengadilan, tetapi bangunan sudah dibongkar,” ujarnya.

Dalam kacamata hukum perdata Indonesia, tindakan mengambil hak secara paksa tanpa melalui prosedur hukum yang sah dikenal sebagai Eigenrichting atau aksi main hakim sendiri. Meskipun seseorang memegang sertifikat hak milik, hukum Indonesia melarang pemilik tersebut melakukan pengosongan paksa secara sepihak.

Eksekusi pengosongan adalah kewenangan eksklusif Pengadilan Negeri yang dijalankan oleh Juru Sita, bukan oleh pemilik sertifikat, apalagi dibantu oleh kuli bongkar atau ormas.

Ketiadaan surat perintah eksekusi dari pengadilan dalam kasus Kushayatun menjadikan pembongkaran tersebut sebagai tindakan ilegal yang berpotensi melanggar Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama, serta Pasal 406 KUHP.

Misteri Sertifikat di Atas Tanah Warisan 1887

Aspek paling mencurigakan dari kasus ini terletak pada sejarah penguasaan tanah. Berdasarkan penelusuran tim hukum dan keluarga, lahan di Kelurahan Kraton tersebut telah dihuni secara turun-temurun oleh keluarga Kushayatun sejak tahun 1887.

Logika hukum agraria mengenal asas rechtsverwerking, di mana penguasaan fisik yang beritikad baik selama puluhan tahun seharusnya mendapatkan perlindungan hukum.

Namun, bak disambar petir di siang bolong, pada tahun 2004 muncul sertifikat tanah atas nama orang lain. Sertifikat ini kemudian berpindah tangan pada tahun 2020 kepada seorang pembeli asal Banyumas, yang kemudian melayangkan somasi pada tahun 2024.

“Klien kami tidak pernah menjual, menghibahkan, atau memindahtangankan tanah itu. Tapi tiba-tiba ada sertifikat,” tegas Guslam, sapaan akrab Agus Slamet.

Kondisi ini mengindikasikan ciri khas modus operandi “Mafia Tanah” yang kerap disorot oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Modus penerbitan sertifikat di atas tanah yang secara fisik dikuasai orang lain tanpa sepengetahuan penghuni asli adalah praktik maladministrasi yang serius.

Data dari Ombudsman RI menunjukkan bahwa sengketa sertifikat ganda atau penerbitan sertifikat non-prosedural masih mendominasi laporan masyarakat terkait pertanahan.

Pertanyaannya, bagaimana Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa menerbitkan sertifikat pada tahun 2004 tanpa verifikasi fisik (surat ukur) yang melibatkan penghuni asli yang sudah tinggal di sana lebih dari satu abad? Inilah yang kini didorong oleh LBH FERARI agar DPRD Kota Tegal segera memanggil BPN untuk buka-bukaan data warkah tanah.

Ironi Keterlibatan ASN: Pelindung atau Fasilitator?

Pembeda utama—dan yang membuat kasus ini dinilai lebih parah dari kasus Surabaya—adalah kehadiran aparat pemerintah di lokasi eksekusi ilegal tersebut. Guslam mencatat adanya oknum Satpol PP, Lurah Kraton, hingga Camat Tegal Barat saat pembongkaran berlangsung.

“Sebenarnya lebih parah di Tegal daripada di Surabaya. Karena ada keterlibatan ASN,” cetus Guslam.

Kehadiran pejabat publik dalam sebuah eksekusi tanpa perintah pengadilan menimbulkan persepsi liar: apakah mereka hadir untuk melindungi warganya, atau justru melegitimasi tindakan main hakim sendiri tersebut?

Jika ASN membiarkan atau bahkan memfasilitasi pembongkaran tanpa dasar hukum eksekusi, maka mereka berpotensi melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan pelanggaran kode etik berat.

Wali Kota Tegal kini telah memerintahkan inspektorat untuk memeriksa oknum ASN yang terlibat. Langkah ini patut diapresiasi, namun publik menuntut transparansi hasil pemeriksaan tersebut. Apakah kehadiran mereka sebatas “menyaksikan” atau ada perintah struktural yang lebih tinggi?

Proses Hukum: Membidik Aktor Intelektual

Laporan polisi yang dilayangkan pihak Kushayatun menyasar tiga elemen kunci: pemberi perintah, penerima perintah (eksekutor lapangan), dan pembeli tanah yang baru. Perkembangan penyidikan di Polres Tegal Kota mulai menunjukkan titik terang.

Setelah memeriksa lima orang kuli bongkar, pada Senin (29/12/2025), penyidik memanggil Lurah Kraton, Sugiarti, dan Plt Camat Tegal Barat, Teti Kirnawati. “Hanya sebentar saja untuk klarifikasi,” ujar Teti saat dikonfirmasi, membenarkan pemeriksaan tersebut.

Pemanggilan pejabat ini krusial untuk mengurai benang kusut legitimasi pembongkaran. Polisi harus berani mengungkap apakah ada “surat sakti” atau tekanan tertentu yang membuat aparat kewilayahan merestui perobohan rumah warganya sendiri tanpa memegang putusan pengadilan.

Di balik perdebatan pasal dan sertifikat, ada tragedi kemanusiaan yang nyata. Kushayatun bukan hanya kehilangan atap, tetapi juga kehilangan sumber penghidupan. Warung kecil yang menjadi tumpuan ekonominya hancur bersama puing-puing bangunan.

Membiarkan seorang lansia kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian secara paksa adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas perumahan yang layak dan perlindungan bagi kelompok rentan.

Negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Tegal, seharusnya hadir memberikan perlindungan hukum dan sosial, bukan menjadi penonton—atau lebih buruk, partisipan—dalam penderitaan warganya.

Kasus Kushayatun adalah alarm tanda bahaya. Jika pola “bongkar dulu, urusan belakangan” tanpa lewat pengadilan ini dibiarkan, maka kepastian hukum properti di Indonesia berada di titik nadir. Masyarakat menanti ketegasan aparat: apakah hukum akan tajam kepada para mafia tanah dan oknum pejabat, atau kembali tumpul saat berhadapan dengan pemilik modal?

Tegal kini menjadi pertaruhan marwah penegakan hukum agraria di Jawa Tengah.

Exit mobile version