Sastra  

Puisi: Ditagih Janji

Ilustrasi puisi (Ist)

Ditagih Janji

*dd nana veno

Puisi menagih janji
“Selirik saja tak apa tuan, aku rindu”

Kun, jadilah walau sebait yang dipunya
kata-kata.

Di luar puisi, tak ada yang benar-benar bersuara, katamu
Seperti juga kita dan rindu-rindu
yang diam di bawah bantal.

Saat kau lelah mencintaiku, ingatlah pada akar yang mengkhidmati takdirnya
Merawat dengan adil segala yang tumbuh di atas dan sekitarnya.

Mencintai aduhmu, sebelum taman surga begitu riuh, seperti ini.

Puisi yang mati serupa dada yang tak berpenghuni.

Kau menabuh luka yang telah lama bisu dalam kepala.

Cukup kah?
“Selarik lagi tuan, haus rinduku serupa pejalan di terik panjang matahari,”.

Pulanglah pada asal bunyi
Serupa kayu kering yang disempurnakan derak
begitu sunyi.

Jemari pasi, hujan dan alun yang tak lagi difahami
Kau, begitu gegas menghapus jejak puisi.

Ujung dari ujung, sebaris aksara mendaras penciptanya.

Cintaku, pernah jelma sebatang pohon di pelataran rumahmu
Sendiri dan dihuni segala renik musim.

Butuh kamu yang terus menggodaku agar faham raga tak selalu tabah menghadapi cuaca.

Untuk persetubuhan yang paling sengit, kita rela menukarnya dengan usia.

Ranjang yang sunyi, serupa puisi yang tak mengakrabi dirinya sendiri.

Kita, masih saja membaca di jum’at yang beku ini
Tanpa saling menyapa dan bertukar peristiwa.

Aku adalah pukul 5 sore yang mengajakmu berjalan-jalan ke ujung sajak ini
rumah-rumah yang menjauh dan tak memiliki ibu.

Segala menyepi. Segelas kopi, beberapa kalimat serupa puisi dan ingatan-ingatan yang mulai pasi. Semoga syahwat kecil kita dihindarkan dari segala keinginan yang menghilangkan.

Semoga yang Maha Syahwat masih mencintai syahwat kecil kita.

*penikmat kopi pait dan tukang wingko